Dalam banyak kitab fikih, utamanya bab fikih ibadah, kita akan mudah menjumpai pembahasan tentang niat (niyyah). Para ahli hukum Islam menempatkan niat di “hati” selama melaksanakan tugas-tugas ibadah ritual seperti sholat, puasa, dan haji sebagai persoalan penting.
Para sarjana Barat sering memperlakukan niat sebagai komponen “spiritual” dari ritual Islam. Meskipun sebagian ahli hukum Islam secara konsisten memperlakukan niat sebagai masalah taksonomi formal, sebuah fokus mental yang membuat tindakan tertentu menjadi memiliki makna khusus sebagaimana yang diwajibkan oleh hukum agama. Meskipun upaya untuk memasukkan niat ke dimensi “spiritual” sebagai upaya untuk membela Islam dari tuduhan “ritualisme kosong”, namun upaya itu secara halus justru memperkuat karakterisasi Islam sebagai agama legalistik-formalistik.
Banyak ahli tentang niat yang memungkiri definisi para ulama tentang “agama yang benar” yang berpusat pada dimensi diri yang batiniah, individual, dan nonmateri. Alih-alih mencoba menghapus formalisme niat, saya berpendapat bahwa para sarjana Islam harus menyadari bahwa ritual atau ibadah yang dilakukan dengan landasan niat itu benar-benar mengandung muatan religius dan spiritual.
Topik niat dalam hukum Islam telah menerima perhatian yang relatif sedikit dari para sarjana barat, dengan sebagian besar berfokus pada hukum kontrak. Mereka sering menggambarkan niat sebagai jantung spiritual Islam. Ignaz Goldziher dalam bukunya Introduction to Islamic Theology and Law telah berusaha untuk menunjukkan bahwa Islam lebih dari sekadar hukum dan pelaksanaan tindakan ritual-seremonial.
Dia menyatakan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang menekankan pentingnya niat dan memandangnya sebagai “sesuatu di balik” tindakan yang sangat menentukan apakah tindakan tersebut bernilai religius atau tidak (lihat misalnya QS. Al-Baqarah 2: 177; Al-Hajj 22: 34 dan 37).
Nilai tertinggi dari suatu ibadah ritual terletak pada ikhlas, yakni kemurnian hati (QS. Ghafir 40:14), taqwa al-qulub, kesalehan hati (QS. Al-Hajj 22:32); dan qalb salim, segenap hati, hati yang selamat (QS. Al-Syu’ara 269)”. Serangkaian ayat itu menegaskan tentang kriteria niat untuk menilai religiusitas dan spiritualitas orang beriman serta nilai dari suatu perbuatan.
Dorongan dan motif yang sifatnya egois dan hipokrit dapat merusak nilai suatu perbuatan. Jadi, niat di balik suatu ibadah ritual mencerminkan kebaikan dan menjadi tanda bahwa agama dengan nilai-nilai yang tulus merupakan inti dari ibadah dalam Islam.
Nilai dari suatu karya, amal, dan perbuatan ditentukan oleh niatnya. Ini salah satu prinsip utama dalam kehidupan keagamaan Islam. Kita dapat menyimpulkan pentingnya prinsip ini bagi setiap Muslim. Ini tertulis di atas salah satu pintu utama masuk Masjid di Universitas al-Azhar, Kairo yang banyak dikunjungi. Tulisan ini mengingatkan semua orang yang masuk, apakah pikiran mereka tertuju pada studi atau pengabdian: “Setiap perbuatan dinilai menurut niatnya; catatan setiap orang dibuat sesuai dengan niatnya.”
Niat dengan demikian muncul sebagai komponen spiritual dalam ibadah-ritual Islam, dan ini memperoleh dukungan dari Nabi Muhammad sendiri dalam hadis yang dikutip di atas. Sayangnya, niat sebagai elemen spiritual kurang memperoleh dukungan dari para ahli hukum Islam, dan karenanya memperoleh momentumnya dalam ajaran dan praktik-praktik tasawuf.
Menurut Goldziher, Wensinck, dan Schacht, pada masa-masa awal Islam, niat merupakan masalah “etis” hingga pada akhirnya hukum Islam menjadikan agama ini tampak lebih legalistik. Wensinck dan Schacht mengakui bahwa fikih abad pertengahan memperlakukan niat secara formal. Goldziher dan Wensinck merindukan tasawuf agar dapat kembali menginspirasi iman. Di antara studi terbaru yang paling signifikan tentang niat dalam ibadah-ritual Islam adalah karya Frederick M. Denny.
Selain itu, R. Bowen memberikan perhatian pada tema niat dalam konteks ritual Islam. Ia mempelajari perselisihan di wilayah Gayo Indonesia pada 1980-an dan 1990-an tentang apakah niat mesti dinyatakan secara lisan atau tidak dalam beribadah. Karya Bowen menunjukkan bahwa masih ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mengeksplorasi bagaimana hukum Islam abad pertengahan berhubungan dengan doktrin dan praktik Islam dan bahwa niat dapat dipahami dengan sangat berbeda oleh Muslim yang berbeda.
Denny menempatkan niat sebagai inti etika dan spiritual dari praktik ritual Islam. Ia dengan tegas menyatakan bahwa niat diyakini tumbuh dari eksistensi batiniah terdalam seorang hamba. Niat inilah yang menjaga keikhlasan dalam laku ritual.
Dengan demikian ada hubungan etis antara seorang hamba dan Tuhannya. Niat memastikan spontanitas spiritual serta integritas dalam ibadah. Denny menunjukkan bukti untuk memperkuat klaim tersebut, dan dia tidak memberikan kutipan (meskipun dia menyiratkan bahwa inspirasinya berasal dari al Ghazali).
Denny mengeksplorasi “dimensi etika dari hukum ritual Islam”. Dari titik ini, dia segera memasuki wilayah yang belum dipetakan oleh hukum ibadah-ritual Islam.
Denny berkomentar bahwa hadis: “Sesungguhnya suatu pekerjaan bersanding dengan niat”, adalah hadis yang sering dikutip. Hadis ini ditemukan dalam banyak konteks — ritual, hukum dan lain-lain — dan berfungsi sebagai prinsip etika universal di kalangan umat Islam. Dalam kasus ibadah-ritual, ada semacam dialektika antara niat dan pelaksanaan berbagai tindakan penyembahan dan tanpa niat maka tindakan tersebut akan kehilangan makna etis.
Niat yang “tumbuh dari eksistensi batiniah seorang hamba” dan “berfungsi sebagai prinsip etika universal di kalangan umat Islam”, memberikan “makna etis” pada praktik ritual. Makna etis ini didefinisikan Denny sebagai “persekutuan dengan Tuhan”, karena niat menempatkan seseorang “di hadapan Penciptanya”. Singkatnya, niat sekali lagi ditempatkan oleh Denny di jantung “spiritualitas” Muslim; tindakan ritual Islam tidak memiliki nilai kecuali unsur “spiritual” hadir dan unsur itu ialah niat.
Denny melanjutkan bahwa praktik ritual Islam seringkali menjadi sentral dalam kehidupan beragama kaum Muslim dan ini mudah disalahpahami dan direndahkan oleh para pengamat luar (terutama mereka yang terbiasa dengan sikap antinomian Kristen). Denny mengamati bahwa “para pemikir Kristen setidaknya sejak Rasul Paulus telah mencela legalisme dalam hubungan antara manusia dan Tuhan.
Sejarah liturgi Kristen, bagaimanapun, menunjukkan banyak perhatian pada regulasi dan kesopanan, meskipun tidak pernah ada kultus yang seragam secara universal sejak zaman awal gereja”. Namun, Denny tidak menerima pandangan semacam ini dan ia berusaha membela Islam dalam melawan tuduhan legalisme dengan menyatakan bahwa Islam “otentik” benar-benar bersifat “spiritual”, dan niat adalah inti dari spiritualitas itu, demikian argumennya.
Jadi, niat adalah adalah unsur yang menentukan dari tindakan ibadah “murni”, tindakan tanpa fungsi atau penjelasan rasional, hanya tindakan “religius”; ini adalah tindakan yang dilakukan seseorang secara sederhana karena ia diperintahkan untuk melakukannya. Niat menyatakan maksud atau tujuan yang menentukan (yaitu, “menjadi Tindakan ibadah”) atau menjadi tindakan tanpa tujuan lain.
Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga di Solopos.com