Rukun Islam yang lima merupakan representasi dari ritual dalam Islam. Mulai dari membaca dua kalimat syahadat, ibadah salat, shiyam atau puasa, membayar zakat dan berhaji ke Tanah Suci.
Ilmu Fikih dengan karya-karyanya yang sangat berbilang dan menjulang, bahkan pernah dijuluki sebagai the queen of science, sangat mencakup dan menjadikan lima ritual suci Islam itu sebagai bagian dari fokus kajian serta meliputi pembahasan yang sangat rinci. Kitab salat adalah bahasan yang paling lengkap dan luas.
Kitab-kitab fikih telah berhasil membahas ritual salat secara rinci dan definitif dalam bentuk hukum ibadah ritual. Salat adalah ibadah murni yang datang sebagai rancangan Allah. Karena itu salah satu tugas ilmu fikih ialah memberikan perlindungan pada ritual salat dari ide-ide yang menyimpang serta bid’ah.
Kitab-kitab fikih telah menjelaskan salat secara sistematik sampai dibedakan unsur-unsurnya yang primer (wajib), sekunder (dianjurkan), dan yang tersier (pelengkap). Namun demikian, fikih tampak hanya fokus pada aspek zahirnya salat serta penjelasan status hukumnya saja, sehingga seorang yang mengerjakan salat berkesan sebagai sekadar telah memenuhi dan menggugurkan kewajiban.
Salat merupakan induk ibadah dalam Islam. Melaksanakan salat yang benar adalah dengan penuh kekhusyukan. Berbahagialah orang-orang yang dapat menjalankan salat dengan suasana batin penuh khusyuk. Khusyuk menurut beberapa mufassir dapat disebutkan di sini.
Quraish Shihab berpendapat bahwa sebagian ulama memahami khusyuk sebagai rasa takut seorang hamba bila ibadah salat yang dilakukannya akan ditolak oleh Allah Swt. Ketakutan ini ditunjukkan dengan selalu menundukkan pandangan matanya ke tempat sujud dan kerendahan hati di hadapan Allah selama salat.
Meskipun salat hanya dilaksanakan lima waktu sehari semalam dan sebanyak 17 rakaat, namun sesungguhnya salat merupakan pekerjaan berat. Yang dapat melakukannya secara ajeg dan istikamah adalah mereka yang khusyuk. Orang yang berbahagia adalah mereka yang khusyuk dalam salatnya.
Maka di samping niat, kekhusyukan merupakan cermin spiritual seorang hamba. Salat yang khusyuk adalah tinanda kedalaman spiritual yang dimiliki pelaku salat. Khusyuk merupakan ruh salat, gerakan-gerakan dan ucapan-ucapan dalam salat adalah jasadnya, ritualnya.
Al-Thabari memahami khusyuk sebagai menundukkan kepala seraya memfokuskan pandangan ke tempat sujud, melakukan salat dengan ketenangan jiwa, tidak terganggu untuk menengok kanan kiri. Al-Baghawi menerangkan “qad aflaha” sebagai keselamatan dan kekekalan dalam surga bagi orang khusyuk.
Ibn al-Sa’di menjelaskan pengertian khusyuk sebagai upaya menghadirkan kalbu di hadapan Allah, konsentrasi untuk taqarrub kepada-Nya, dan hasilnya adalah ketenangan hati, gerakan salat yang thumaninah dan terarah, penuh keadaban, serta jauh dari gangguan dan waswas dari setan.
Beberapa ayat Al-Qur’an menjelaskan tentang lima kriteria khusyuk. Pertama, mereka memiliki keyakinan penuh akan perjumpaan hamba dengan Allah Swt dan akan kembali kehadirat-Nya. Kedua, mereka senantiasa bergegas dalam hal berbuat kebaikan dan selalu mememanjatkan doa dengan penuh harap dan cemas. Ketiga, mereka selalu bersujud apabila dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan bertambah khusyuk. Keempat, mereka menunjukkan hati yang khusyuk ketika berzikir kepada Allah dan dalam melaksanakan dan mematuhi kebenaran Allah. Kelima, mereka selalu berharap akan dan dijanjikan Allah ampunan dan pahala yang besar. Satu ayat menjelaskan tentang Ahlu al-Kitab yang khusyuk dan tidak memperjual belikan ayat-ayat Allah dengan harga yang sangat murah.
Proses penetapan saalat lima waktu sebagai kewajiban utama bagi Muslim aqil dan baligh, melalui suatu pengalaman spiritual tertinggi. Ini merupakan peristiwa besar dalam sejarah Islam. Allah memanggil secara langsung Nabi Muhammad SAW. untuk menghadap Allah. Hanya manusia terpilih dan suci yang memperoleh keistimewaan dapat mengalami perjalanan Isra’ Mi’raj.
Prosesi penerimaan wahyu secara langsung ini membuat salat menjadi ritual utama yang berdimensi spiritual karena ia merupakan sarana komunikasi seorang hamba dengan Penciptanya. Salat juga menjadi sarana untuk mengingat Allah Swt. Seluruh gerakan dan dan ucapan –dari takbiratul ihram hingga salam- dalam salat telah diajarkan oleh Nabi Muhammad secara terperinci. Itulah dimensi praktik dan ritual salat.
Perspektif tasawuf memandang ibadah salat bukan semata gerak-ucap ritual bahkan juga media untuk mendekatkan diri kepada Allah. Salat merupakan upaya manusia untuk memperoleh posisi spiritual-batiniah sedekat-dekatnya kepada Allah agar memperoleh keberkahan dan anugerah-Nya.
Pandekatan spiritual memberi perhatian utama pada upaya batin dalam menata diri dan mensucikannya dari kepentingan-kepentingan duniawi untuk mencapai makrifatullah, sehingga ketentuan-ketentuan lahiriah (al-zahir) salat menjadi perantara bagi tercapainya ketenangan-ketenteraman-keasyikan spiritual dengan Sang Khalik (al-Bathin).
Dimensi terdalam dari salat ialah kesadaran iman yang dapat berfungsi sebagai kendali diri dari segala perbuatan keji dan mungkar. Nafsu amarah dan lawwamah pada diri manusia merupakan dorongan-dorongan rendah dan nafsu hina yang mendorong berperilaku kebinatangan. Salat membangkitkan kesadaran spiritual-iman agar manusia menjadi makhluk spiritual yang menjunjung nilai-nilai tertinggi, kasih sayang, kemuliaan, serta kebaikan-kebajikan Ilahi.
Secara spiritual, salat membawa insan pada kecenderungan fitrah takwa dan mengeliminir kecenderungan dosa. Zakat diperintahkan dengan maksud agar manusia dapat membinasakan cinta buta terhadap dunia, sehingga ia dilatih untuk membelanjakan dan mengeluarkannya kepada kaum miskin. Dengan cara ini manusia dapat meneladani sifat Allah al-Razzaq (Pemberi Rizki) sehingga dirinya menjadi hamba pemberi dan berbagi dengan sesama.
Ibadah shiyam/puasa merupakan ritual wajib yang bertujuan untuk mengendalikan nafsu jasmani –hasrat makan,minum,seksual– yang cenderung serakah dan tamak. Shiyam/puasa melunturkan kerasnya syahwat dan nafsu amarah untuk mengokohkan takwa kepada Allah, yaitu sifat batin positif berupa kesadaran sempurna di hadapan Allah Swt untuk mengabdi dan tunduk kepada-Nya.
Takwa membawa jiwa fitri seorang hamba, bersih diri, dan jiwanya dari angkara murka dan maksiat. Ritual haji terdiri dari serangkaian rukun -niat, ihram, thawaf, sa’i– yang di dalamnya penuh dengan ritual fisik dan material. Namun, napak tilas haji menggambarkan ujian dan latihan keimanan akan tauhid kepada Allah, pasrah melakukan perjalanan jauh dengan meninggalkan seluruh harta dan keluarga memenuhi panggilan Allah semata.
Maka dapat dipahami bahwa ibadah ritual dalam Islam merupakan ibadah yang praktikal-aktual dengan basis spiritual yang kokoh. Maknanya ibadah dalam Islam sangat berkarakter, yakni membentuk mental positif berbasis spiritual untuk meneladani sifat-sifat mulia Allah Swt.
Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga di Solopos.com