Moderasi Islam: Hubungan Agama, Filsafat, dan Sains (Habis)

Dalam perspektif Islam, istilah hikmah paling cocok untuk merujuk pada kegiatan pemikiran kaum Muslim selama berabad-abad. Menurut Syed Hossein Nasr, setelah renaisans Barat menekankan pada akal dan persepsi indra saja. Gerakan menegasikan metafisika juga dilembagakan di Barat.

Sekarang gerakan menegasikan agama menjadi pekerjaan baru bagi akal dan persepsi indera. Dengan cara ini jurang tak terjembatani berkembang antaraagama dan filsafat di satu sisi dan antara agama dan sains di sisi lain.
Sebagai bukti bahwa kata “hikmah” lebih tepat dan representatif bagi dunia Islam adalah berdirinya Bayt al-Hikmah.

Lembaga ini berdiri sebagai akibat dorongan utama untuk ilmu pengetahuan Islam yang diprakarsai kekhalifahan Abbasiyah (758-1258) di Baghdad. Penguasa Abbasiyah awal, seperti Harun al-Rashid (786–809) dan penggantinya Abu Ja?far Abdullah al-Ma’man (813–833), adalah pelindung ilmu pengetahuan Islam. Bayt al-Hikmah bertugas menerjemahan karya-karya besar oleh Aristoteles, Galen, dan banyak sarjana Persia dan India ke dalam bahasa Arab.

Bayt al-Hikmah merupakan lembaga yang kosmopolitan dalam pandangan, terbuka untuk mempekerjakan astronom, matematikawan, dan dokter dari luar negeri, termasuk matematikawan India dan astronom Nestorian (Kristen). Di seluruh dunia Arab, perpustakaan umum yang terhubung dengan masjid menyediakan akses ke ringkasan pengetahuan yang luas, yang menyebarkan Islam, filsafat Yunani, dan sains Arab.

Penggunaan bahasa Arab serta lembaga agama dan politik umum dan hubungan perdagangan yang berkembang mendorong penyebaran ide-ide ilmiah di seluruh kekhalifahan. Sains sepenuhnya bergantung pada kecerdasan manusia, sedangkan agama dianggap sebagai firman Tuhan.

Dalam agama Tuhan mengarahkan manusia bagaimana menjalani hidup. Para ilmuwan di era ini menerima bahwa mereka hanya menemukan dan mempelajari lima persen rahasia alam semesta dan pengetahuan mereka sendiri sangat kecil. Mereka mengatakan bahwa mereka membutuhkan lebih banyak waktu untuk mempelajari hal ini.

Dalam Al-Quran, jelas tertulis bahwa Allah memberi pengetahuan pada manusia banyak atau sedikit sesuai yang Dia inginkan.
Ada banyak ilmuwan yang sebelum penemuan mereka tidak menerima eksistensi Pencipta atau otoritas tertinggi. Setelah mereka menemukan sesuatu, mereka menyadari bahwa ada sesuatu atau seseorang, yang membuat hal-hal ini terjadi.

Ilmuwan ini termasuk Isaac Newton, Michael Faraday dan Albert Einstein. Isaac Newton dan para pengikutnya memiliki pendapat aneh tentang pekerjaan Tuhan. Menurut mereka, Tuhan Yang Mahakuasa ingin memutar arlojinya dari waktu ke waktu: jika tidak, arloji itu akan berhenti bergerak.

Albert Einstein adalah ilmuwan paling terkenal di abad kedua puluh dan dikaitkan dengan revolusi pemikiran tentang waktu, gravitasi, dan transfer materi menjadi energi (E=mc2).

Meskipun tidak pernah percaya pada Tuhan yang berpribadi (personal God), dia menyadari ketidakmungkinan alam semesta yang tidak diciptakan. The Encyclopedia Britannica mengatakan tentang dia, ”Dengan tegas menyangkal ateisme, Einstein menyatakan kepercayaan pada ”Tuhan Spinoza yang menyatakan dirinya dalam harmoni dari apa yang ada.”

Ini sebenarnya memotivasi minatnya pada sains, seperti yang pernah dia katakan kepada seorang fisikawan muda: “Saya ingin tahu bagaimana Tuhan menciptakan dunia ini, saya tidak tertarik pada fenomena ini atau itu, pada spektrum elemen ini atau itu. Saya ingin mengetahui pikiran-Nya, selebihnya adalah detail.”

Epitet Einstein yang terkenal tentang “prinsip ketidakpastian” adalah “Tuhan tidak sedang bermain dadu” – dan baginya ini adalah pernyataan nyata tentang Tuhan yang dia percayai. Pepatah terkenalnya adalah “Ilmu tanpa agama lumpuh, agama tanpa sains buta”.

Para ilmuwan memang menerima kenyataan bahwa kecenderungan ateisme ada pada setiap ilmuwan, tetapi fakta ini tetap tidak membuat mereka menjadi ateis. Mereka masih percaya pada Tuhan karena ketika mereka melihat keragaman alam semesta ini, mereka mempertanyakan bagaimana ini terjadi.

Kekuataan Koordinasi

Bagaimana ini terjadi atau apa kekuatan tersembunyi yang membuatnya terjadi. Ilmuwan tidak mempertanyakan dari mana semua planet, galaksi, bintang dan matahari ini berasal dan pada akhirnya mereka menerima kenyataan bahwa ada satu Pencipta yang telah menciptakan alam semesta, sistem dan kekuatan koordinasi di antara objek yang berbeda.
Ketika kita berbicara tentang kembali ke agama monoteistik – Islam, Kristen, Yudaisme – di era sekarang, Keith Moore telah membahasnya berkali-kali.

Ia sebagian besar bekerja di bidang anatomi dan embriologi dan membuat beberapa penemuan yang sangat penting. Dia mengatakan bahwa studi tentang embriologi manusia sangat sulit dilakukan pada 1.400 tahun yang lalu. Dia mengatakan tahap-tahap studi yang membutuhkan alat dan perlengkapan yang sangat canggih dan alat-alat ini tidak pernah hadir pada 100 dan 150 tahun, lalu bagaimana kita bisa mempercayai perkataan orang-orang yang mengatakan sesuatu seperti 1400 tahun yang lalu.

Dia mengatakan bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan sama sekali dan mereka tidak memiliki alat untuk mempelajari apa pun. Jadi tidak berdasar bahwa apa pun yang mereka katakan harus diterima. Dia menganggap orang-orang pada waktu itu buta huruf dan sama sekali tidak memiliki pengetahuan.

Pada sisi ini, ketika kita melihat Al-Qur’an, semua tahapan telah dijelaskan dengan sangat baik. Karena pada saat itu belum ada alat dan perlengkapan yang ada, lalu bagaimana bisa ada dalam al-Qur’an. Harus ada seseorang yang memiliki semua pengetahuan tentang semua tahapan embriologi manusia. Fakta ini menjungkirbalikkan perlawanannya terhadap agama.
Islam sebagai agama monoteistik memang menerima ilmu dan ilmuwan. Ada alasan untuk penerimaan ini.

Ketika Allah SWT kali pertama menurunkan ayat pertama dari Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW, Ia memerintahkan kepada manusia untuk membaca, dan pengajaran melalui pena (menulis, Qalam). Masih banyak ayat-ayat Al-Qur’an lainnya yang menyuruh manusia untuk mengembara dan mempelajari Tuhan yang menciptakan alam semesta, misalnya:
“Bepergianlah di muka bumi dan lihatlah bagaimana (Allah) memulai penciptaan, dan kemudian Allah akan membangkitkan ciptaan di akhirat (yaitu kebangkitan setelah kematian). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Ayat ini menceritakan dengan jelas bahwa alam adalah ciptaan Allah dan manusia diundang untuk mempelajari dan memahami kehadiranNya melalui alam. Ada pelajaran besar bagi para ilmuwan seperti Keith Moore. Mereka harus mengerti apa yang Allah katakan. Allah telah memberikan pengetahuan kepada manusia; terserah manusia bagaimana mereka menggunakan pengetahuan ini.

Manusia diberikan kebebasan dalam hal ini. Manusia bebas berpikir, terserah manusia mau pergi ke mana.
Islam, dengan demikian, dalam hal hubungan antara agama, filsafat, dan sains, berada dalam hubungan keseimbangan (wasathiyyah). Dikhotomi dan demarkasi agama dan sains telah dijembatani oleh hikmah yang secara etimologi dan terminologi mencakup tiga makna sekaligus: agama, filsafat, dan sains secara bersama-sama.

Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga di solopos.com