Khansa Anisatun Nazilah
Film animasi “Upin Ipin” telah melampaui batas geografis negaranya, menjadi tontonan favorit jutaan anak di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Di balik kelucuan dan keluguan dua tokoh utamanya, Upin dan Ipin, serial ini ternyata memuat pesan edukatif yang sangat mendasar dan penting, terutama dalam konteks kehidupan multikultural: Moderasi Beragama.
Moderasi beragama bukan sekadar toleransi, melainkan sebuah sikap beragama yang seimbang, adil, anti-kekerasan, dan berkomitmen pada kebangsaan. Animasi ini, melalui alur cerita yang ringan dan karakter yang beragam, secara tidak langsung menanamkan empat indikator utama moderasi beragama tanpa terasa menggurui.
1. Toleransi: Mengunjungi Tanpa Mengintervensi
Toleransi adalah pilar yang paling jelas terlihat dalam serial Upin Ipin. Kampung Durian Runtuh digambarkan sebagai miniatur masyarakat majemuk. Karakter seperti Mei Mei (Tionghoa) dan Jarjit Singh (Sikh/India) berinteraksi setiap hari dengan Upin, Ipin, dan kawan-kawan Muslim lainnya.
Skenario Kunci: Hari Raya Keagamaan
Episode-episode khusus hari raya (seperti Tahun Baru Imlek, Deepavali, dan Hari Raya Idulfitri) adalah medium paling efektif. Anak-anak ditunjukkan bagaimana:
a. Saling Mengunjungi: Mereka berbondong-bondong mengunjungi rumah Mei Mei saat Imlek dan Jarjit saat Deepavali. Tindakan ini mencontohkan Tasamuh (toleransi sosial) dan Ta’awun (saling tolong menolong) dalam kehidupan bermasyarakat.
b. Menghargai Ritual: Meskipun mengunjungi, mereka tidak pernah mengintervensi ritual keagamaan temannya. Mereka hanya berfokus pada silaturahmi, makanan, dan kegembiraan hari raya. Ini mengajarkan batasan yang jelas antara sosial dan spiritual, esensi dari moderasi.
