Muhamad Rozikan
Dalam konteks ‘Moderasi Beragama untuk Perdamaian Global’, integrasi antara konseling sufistik berbasis wasathiyah Islam menjadi sangat relevan untuk menumbuhkan sikap moderasi beragama bagi para mahasiswa. Konseling sufistik tidak hanya membantu individu mencapai keseimbangan batin tetapi juga memperkuat nilai-nilai moderasi beragama yang krusial dalam menciptakan perdamaian global. Konseling ini memainkan peran vital dalam membentuk individu yang seimbang, toleran, dan mampu berkontribusi pada perdamaian global sesuai dengan filosofi tujuan dari sikap moderasi beragama, yakni tidak hanya semata untuk menjaga kerukunan antarumat beragama, tetapi juga dalam membangun masyarakat yang damai dan stabil di tengah derasnya arus globalisasi saat ini.
Mahasiswa di era ini dihadapkan pada sejumlah tantangan yang kompleks, termasuk tekanan akademik yang tinggi, masalah kesehatan mental, dampak negatif teknologi dan media sosial, perubahan sosial dan politik, kendala finansial, serta tekanan dari keluarga dan tuntutan masyarakat akan kekhawatiran karir dan masa depan. Selain itu, mahasiswa yang memiliki latar belakang dari pondok pesantren sering menghadapi masalah tambahan seperti menjaga keseimbangan antara kegiatan akademis dengan kegiatan keagamaan di pondok pesantren. Untuk mengatasi beragam masalah ini, diperlukan solusi dan dukungan dari berbagai pihak, dengan penekanan pada keseimbangan, kesejahteraan mental, integrasi sosial, dan pengembangan karakter. Salah satu pendekatan yang dapat membantu adalah konseling sufistik yang memadukan solusi spiritual dan psikologis, sembari memperkuat nilai-nilai Islam Wasathiyah seperti moderasi, toleransi, dan musyawarah. Integrasi konseling sufistik dengan nilai-nilai tersebut dapat memberikan dukungan yang komprehensif bagi mahasiswa dalam menghadapi tantangan hidup mereka.
Teori kesejahteraan psikologis oleh Carol Ryff (1989) menguraikan enam dimensi yang mencakup penerimaan diri (self-acceptance), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), pemahaman diri (personal growth), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), dan otonomi (autonomy). Kaitannya dengan moderasi beragama terletak pada bagaimana dimensi-dimensi ini dapat membentuk landasan psikologis bagi sikap moderasi. Misalnya, penerimaan diri dan hubungan positif dengan orang lain mendukung penghargaan terhadap keberagaman dalam kepercayaan dan praktik beribadah, sementara penguasaan lingkungan dan tujuan hidup dapat membimbing individu untuk menemukan keseimbangan dan fokus dalam menjalani ajaran agama mereka. Pemahaman diri dan otonomi dapat membantu individu mengembangkan keyakinan yang kokoh dan sikap toleran terhadap pandangan agama lain, sambil tetap mempertahankan integritas pribadi dalam keyakinan mereka sendiri. Dengan demikian, dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis ini menjadi pijakan yang kokoh untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari.
Moderasi beragama adalah sikap beragama yang mengedepankan tengah dan keseimbangan dalam menjalankan ajaran agama serta berinteraksi dengan sesama pemeluk agama. Konsep ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara berbagai aspek kehidupan, baik dalam ibadah, pergaulan, maupun dalam sikap terhadap sesama manusia. Konteks sikap moderasi beragama merujuk pada dalil naqli “Dan demikian (pula) Kami menjadikan kamu (umat Islam) ummatan wasathan (umat yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia) dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…” (QS. al-Baqarah: 143). Ayat tersebut menunjukkan bahwa moderasi beragama bukan hanya tentang sikap menjaga keseimbangan internal dalam menjalankan ajaran agama, tetapi juga tentang menjadi landasan dalam bersikap adil dan penuh toleransi dalam berinteraksi dengan masyarakat luas. Oleh karena itu, dalam konteks kehidupan bermoderasi di kampus, ada beberapa nilai-nilai wasathiyah Islam yang menjadi pijakan, seperti tawassuth, i’tidal, toleransi, syura, qudwah, serta muwathanah yang dapat diinternalisasikan ke dalam konseling berbasis sufistik.
Dalam konteks tawassuth atau mengambil jalan tengah, konseling sufistik mampu mendorong individu menemukan keseimbangan dalam pandangan dan tindakan mereka. Di dunia yang semakin terpolarisasi, ajaran sufi mengajarkan individu untuk menghindari sikap ekstrem. Misalnya, mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan seringkali merasa terjebak dalam posisi yang konfrontatif. Melalui praktik dzikir dan meditasi yang diajarkan dalam konseling sufistik, mereka dapat menemukan keseimbangan antara berbagai pandangan, tidak terpaku pada satu sisi saja. Hal ini memungkinkan mereka untuk berperan sebagai mediator yang adil dalam diskusi-diskusi global, berkontribusi pada dialog yang konstruktif dan harmonis.
Prinsip i’tidal atau lurus dan tegas sangat penting dalam moderasi beragama, terutama dalam menghadapi tantangan moral di era modern. Konseling sufistik membantu individu untuk tetap berpegang pada nilai-nilai kebenaran dengan cara yang bijak. Seorang dosen, misalnya, yang menghadapi dilema etis dalam menilai mahasiswa dapat menggunakan pendekatan reflektif dari konseling sufistik untuk membuat keputusan yang adil dan tidak bias. Ketegasan dalam prinsip ini diperlukan untuk menghindari praktik-praktik yang tidak adil sehingga mendukung terciptanya masyarakat yang lebih adil dan damai.
Toleransi atau tasamuh adalah salah satu nilai fundamental yang ditekankan dalam konseling sufistik dan sangat relevan dalam konteks global. Di lingkungan kampus yang multikultural, konseling sufistik mendorong mahasiswa untuk memahami dan menerima keberagaman. Contohnya, seorang mahasiswa dari luar Jawa, pertama kali merasa terisolasi karena keterbatasan memahami bahasa Jawa. Ketika ia diajak untuk bergabung dalam sesi konseling kelompok, ia akan berbaur dan belajar untuk menghargai perbedaan bahasa, kebiasaan, dan budaya, yang pada gilirannya menciptakan lingkungan kampus yang inklusif dan kondusif untuk belajar. Pun juga demikian dengan beberapa mahasiswa difabel. Mereka dituntut untuk bisa beradaptasi dengan segala situasi dan kondisi, melebur dengan teman-temannya yang lain, serta memecahkan permasalahan dan tantangan hidupnya sendiri. Konseling sufistik ini sangatlah membantu mereka untuk bersikap tenang dan tegar dalam menghadapi tantangan kehidupan. Kuncinya adalah diri sendiri mampu beradaptasi, sedangkan lingkungan dan teman-teman yang lainnya mampu memahami dan bertoleransi. Sikap-sikap ini sangat penting dalam membangun perdamaian global, karena menghargai keberagaman adalah kunci untuk mengatasi konflik dan ketegangan sosial.
Syura atau musyawarah merupakan cara efektif untuk menyelesaikan konflik melalui dialog. Konseling sufistik mengajarkan pentingnya mengajak diskusi yang jujur dan terbuka. Misalnya, ketika terjadi konflik antar kelompok mahasiswa, konseling sufistik menerapkan para pihak yang berseteru untuk duduk bersama dalam sesi musyawarah. Pendekatan ini memungkinkan mereka untuk menemukan solusi yang adil dan bijaksana, yang tidak hanya menyelesaikan konflik secara damai tetapi juga memperkuat nilai-nilai demokrasi dalam praktik berorganisasi antar mahasiswa.
Qudwah atau keteladanan adalah elemen penting dalam pendidikan karakter yang diajarkan dalam konseling sufistik. Di kampus, contoh keteladanan ini sangat berharga dalam membentuk pemimpin masa depan yang moderat. Seorang pemimpin mahasiswa yang terinspirasi oleh sikap para pimpinan yang arif dan bijaksana akan menunjukkan integritas dan kesederhanaan dalam tindakan sehari-hari. Keteladanan ini memotivasi mahasiswa lain untuk mengadopsi sikap yang sama, menciptakan generasi pemimpin yang mampu mempromosikan perdamaian dan stabilitas global.
Nilai muwathanah atau cinta tanah air juga diajarkan dalam konseling sufi dengan mengajak individu untuk melihat peran mereka dalam skala yang lebih luas. Seorang mahasiswa yang sebelumnya tidak tertarik dengan isu-isu global diajak untuk merenungkan kontribusinya sebagai warga Indonesia melalui sesi konseling. Setelah melalui proses ini, mereka terlibat dalam program-program pemberdayaan dan kepedulian sosial, menunjukkan bahwa cinta kepada tanah air dapat diperluas menjadi cinta kepada kemanusiaan. Misalnya dalam mengusung spirit ‘Salatiga kota Toleransi’. Sikap ini penting dalam era globalisasi, di mana tantangan mahasiswa ‘jaman now’ yang acapkali acuh tak acuh terhadap kondisi masyarakat di sekitarnya.
Urgensi konseling sufistik saat ini memang menjadi kebutuhan yang nyata. Krisis moral dan identitas, tekanan masyarakat dan sosial, serta ketegangan dalam persaingan global membutuhkan pendekatan yang dapat menawarkan kedamaian batin sekaligus mendukung nilai-nilai moderasi beragama. Dengan mengintegrasikan konseling sufistik ke dalam program pendidikan konseling, khususnya pada program studi Psikologi Islam, Bimbingan dan Konseling, atau Bimbingan dan Konseling Pendidikan Islam, serta seluruh layanan konseling berbasis spiritual di kampus diharapkan mampu membantu individu menemukan keseimbangan dan ketenangan. Prinsip-prinsip moderasi beragama menjadi pijakan moral yang kokoh, sementara dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis menawarkan kerangka psikologis yang kuat. Dengan menggabungkan kedua pendekatan ini, mahasiswa dapat diberdayakan untuk tidak hanya menemukan keseimbangan dalam kehidupan mereka, tetapi juga menjadi agen-agen perdamaian global yang kuat dan berkelanjutan. Dengan demikian, integrasi konseling sufistik dalam pendidikan di kampus menawarkan jalan yang cerdas dan komprehensif menuju visi moderasi beragama untuk perdamaian global.