Moderasi beragama adalah sikap beragama yang mengedepankan tengah dan keseimbangan dalam menjalankan ajaran agama serta berinteraksi dengan sesama pemeluk agama. Konsep ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara berbagai aspek kehidupan, baik dalam ibadah, pergaulan, maupun dalam sikap terhadap sesama manusia. Konteks sikap moderasi beragama merujuk pada dalil naqli “Dan demikian (pula) Kami menjadikan kamu (umat Islam) ummatan wasathan (umat yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia) dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…” (QS. al-Baqarah: 143). Ayat tersebut menunjukkan bahwa moderasi beragama bukan hanya tentang sikap menjaga keseimbangan internal dalam menjalankan ajaran agama, tetapi juga tentang menjadi landasan dalam bersikap adil dan penuh toleransi dalam berinteraksi dengan masyarakat luas. Oleh karena itu, dalam konteks kehidupan bermoderasi di kampus, ada beberapa nilai-nilai wasathiyah Islam yang menjadi pijakan, seperti tawassuth, i’tidal, toleransi, syura, qudwah, serta muwathanah yang dapat diinternalisasikan ke dalam konseling berbasis sufistik.
Dalam konteks tawassuth atau mengambil jalan tengah, konseling sufistik mampu mendorong individu menemukan keseimbangan dalam pandangan dan tindakan mereka. Di dunia yang semakin terpolarisasi, ajaran sufi mengajarkan individu untuk menghindari sikap ekstrem. Misalnya, mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan seringkali merasa terjebak dalam posisi yang konfrontatif. Melalui praktik dzikir dan meditasi yang diajarkan dalam konseling sufistik, mereka dapat menemukan keseimbangan antara berbagai pandangan, tidak terpaku pada satu sisi saja. Hal ini memungkinkan mereka untuk berperan sebagai mediator yang adil dalam diskusi-diskusi global, berkontribusi pada dialog yang konstruktif dan harmonis.
Prinsip i’tidal atau lurus dan tegas sangat penting dalam moderasi beragama, terutama dalam menghadapi tantangan moral di era modern. Konseling sufistik membantu individu untuk tetap berpegang pada nilai-nilai kebenaran dengan cara yang bijak. Seorang dosen, misalnya, yang menghadapi dilema etis dalam menilai mahasiswa dapat menggunakan pendekatan reflektif dari konseling sufistik untuk membuat keputusan yang adil dan tidak bias. Ketegasan dalam prinsip ini diperlukan untuk menghindari praktik-praktik yang tidak adil sehingga mendukung terciptanya masyarakat yang lebih adil dan damai.
Toleransi atau tasamuh adalah salah satu nilai fundamental yang ditekankan dalam konseling sufistik dan sangat relevan dalam konteks global. Di lingkungan kampus yang multikultural, konseling sufistik mendorong mahasiswa untuk memahami dan menerima keberagaman. Contohnya, seorang mahasiswa dari luar Jawa, pertama kali merasa terisolasi karena keterbatasan memahami bahasa Jawa. Ketika ia diajak untuk bergabung dalam sesi konseling kelompok, ia akan berbaur dan belajar untuk menghargai perbedaan bahasa, kebiasaan, dan budaya, yang pada gilirannya menciptakan lingkungan kampus yang inklusif dan kondusif untuk belajar. Pun juga demikian dengan beberapa mahasiswa difabel. Mereka dituntut untuk bisa beradaptasi dengan segala situasi dan kondisi, melebur dengan teman-temannya yang lain, serta memecahkan permasalahan dan tantangan hidupnya sendiri. Konseling sufistik ini sangatlah membantu mereka untuk bersikap tenang dan tegar dalam menghadapi tantangan kehidupan. Kuncinya adalah diri sendiri mampu beradaptasi, sedangkan lingkungan dan teman-teman yang lainnya mampu memahami dan bertoleransi. Sikap-sikap ini sangat penting dalam membangun perdamaian global, karena menghargai keberagaman adalah kunci untuk mengatasi konflik dan ketegangan sosial.