Kancil yang Moderat: Menyemai Moderasi Beragama dari Dongeng

Dini Amanati Zahroh

Dongeng dan cerita rakyat adalah guru pertama bagi banyak anak Indonesia. Jauh sebelum kurikulum formal menyentuh isu-isu kompleks seperti multikulturalisme dan moderasi beragama, kisah-kisah tradisional sudah menanamkan fondasi etika sosial. Salah satu tokoh paling ikonik dalam khazanah cerita rakyat Indonesia adalah Si Kancil, si cerdik yang selalu berhasil mengatasi masalah.

Meskipun Kancil hanya tokoh fiksi di hutan, perilakunya—terutama dalam menyelesaikan konflik—dapat menjadi medium yang unik dan efektif untuk menyemai benih-nilai moderasi beragama sejak usia dini. Moderasi beragama, yang intinya adalah sikap hidup beragama yang seimbang, adil, dan menghargai keberagaman, memiliki akar yang kuat dalam kearifan lokal yang diwakili oleh dongeng.

1. Kecerdikan Kancil sebagai Representasi Sikap Tawasuṭ (Berada di Tengah)

Inti dari moderasi beragama adalah Tawasuṭ, yaitu sikap keberagamaan yang berada di tengah, tidak ekstrem kanan (radikal) dan tidak ekstrem kiri (liberal tanpa batas). Kancil, sebagai tokoh sentral, selalu berada dalam posisi ini.

a. Menghindari Ekstrem: Kancil tidak pernah menggunakan kekuatan fisik (ekstrem kanan/kekerasan) untuk mengalahkan buaya atau harimau. Di sisi lain, ia juga tidak pasrah dan menyerah begitu saja (ekstrem kiri/fatalisme). Kancil selalu mengandalkan akal sehat dan strategi damai—mengajak bicara, bernegosiasi, dan menggunakan kecerdasannya.

b. Pesan Moral: Melalui Kancil, anak-anak belajar bahwa konflik diselesaikan dengan pemikiran jernih dan dialog, bukan dengan emosi atau kekerasan. Ini adalah pelajaran fundamental bahwa solusi yang paling baik seringkali ditemukan di jalur tengah yang seimbang.