4. Mengakomodasi Kearifan Lokal (Muwaṭanah)
Dongeng Si Kancil lahir dan tumbuh dari tradisi lisan Nusantara. Setiap kisah dan latar belakangnya kental dengan suasana hutan tropis, buah-buahan lokal, dan perilaku khas hewan-hewan endemik.
a. Cinta Tanah Air dan Budaya: Dengan mencintai dan mempelajari dongeng lokal, anak-anak secara otomatis menghargai kearifan dan identitas budaya sendiri. Nilai-nilai ini menjadi jembatan menuju komitmen kebangsaan (Muwaṭanah) dalam beragama—mengakui bahwa praktik beragama tidak boleh bertentangan dengan budaya dan konsensus nasional (NKRI).
b. Media yang Aman: Dongeng menyediakan lingkungan belajar yang non-politis dan non-dogmatis untuk membahas etika dan moral. Anak-anak menerima pesan tanpa merasa terbebani oleh jargon-jargon agama yang kompleks.
Si Kancil, dengan segala kecerdikan dan kenakalannya, adalah duta yang sempurna untuk moderasi beragama di kalangan anak-anak. Dongeng ini mengubah prinsip-prinsip luhur menjadi kisah yang sederhana, lucu, dan mudah dicerna.
Dengan menjadikan Kancil sebagai studi kasus, orang tua dan pendidik dapat mengajarkan bahwa menjadi orang yang moderat berarti menjadi cerdik dalam berpikir, adil dalam bertindak, toleran terhadap yang berbeda, dan setia pada kearifan lokal. Ini adalah cara unik untuk menyemai benih moderasi, memastikan bahwa generasi penerus akan tumbuh dengan akar budaya yang kuat dan hati yang terbuka untuk keberagaman.
