Ketegangan Historis Moderasi Islam Versus Ekstremisme

Pembicaraan tentang moderasi Islam terus mengalami peningkatan dan eskalasi dalam skala luas. Setidaknya, ada dua konteks utama. Pertama, diskursus moderasi kembali memperoleh sorotan luas dilatarbelakangi penyebaran ekstremisme muslim yang belum pernah terjadi sebelumnya, baik di dalam maupun luar negeri. Dalam hubungan ini, moderasi memperoleh daya tarik baru dalam masyarakat mayoritas muslim maupun minoritas muslim.

Kedua, di banyak negara, seruan moderasi dilakukan sebagai cara untuk membuat tandingan atas terorisme muslim (counter terrorism). Berbagai platform juga diciptakan untuk mewujudkan moderasi di lapangan. Islam Hadari di Malaysia dan seruan Presiden Iran Khatami untuk dialog peradaban bisa menjadi contoh.

Moderasi kali pertama muncul dalam domain kepercayaan ortodoks yang tidak mendukung sistem kepercayaan yang berlebihan. Sebagai contoh, orang Kristen menghormati dan bahkan menyembah nabi, sementara orang Yahudi meremehkan bahkan membunuh beberapa dari nabi-nabi mereka, sedangkan muslim menghormati semua nabi dan tidak menyembah satu pun nabi.

Di sisi lain, beberapa mazhab fikih, terutama yang berideologi ekstremis bercita rasa Timur Tengah, menyebarkan intoleransi yang menakutkan secara global dan telah menghitamkan citra Islam. Sekte-sekte ini sepenuhnya menghindari Moderasi Islam, yang kemudian meminggirkan implementasi Islam yang otentik dengan memblokir wacana politik korektif.

Ekstremisme juga bukan hal baru karena mengubah skema dan pola warna. Al Qaeda di Arab dan Irak (AQI) dan di Suriah sebagai ISIS atau ISIL di bawah Abu Bakr al Baghdadi, yang melahirkan Daesh, organisasi teroris radikal militan yang paling ditakuti sejauh ini. Kelompok-kelompok ini telah memotivasi kaum muda untuk menarik mereka. Mereka dengan sengaja mengabaikan Moderasi Islam sebagai doktrin Islam yang penting.

Masalah utamanya adalah kesalahpahaman tentang Islam. Pertimbangan epistemologis berhasil melibatkan semua prinsip Islam. Toleransi atas kebebasan individu untuk memilih sangat ditekankan. Kedua, salah menafsirkan konsep tertentu menyangkut dogma konvensional tentang prinsip-prinsip Islam.

Isu pluralisme agama sebagai bagian dari perspektif wasathiyyah tradisional ditoleransi oleh kalangan moderat, tetapi tidak oleh ekstremis. Penafsiran berbagai konsep, termasuk makna literal wasathiyyah, merujuk pada posisi tengah —tindakan moderat-.

Oleh karena itu, yang harus dilakukan adalah mengembalikan pendidikan Islam pada ajaran universal yang mengedepankan persatuan, keseimbangan yang adil berkenaan dengan nilai-nilai dan kebutuhan kemanusiaan yang holistik.

Definisi Al-Qur’an tentang wasathiyyah mewujudkan “keseimbangan yang adil” yang memanifestasikan kesederhanaan/kebersahajaan sebagai karakter muslim sehingga tidak bertindak atau bersikap berlebihan, tetapi moderat. Penafsiran konsep-konsep seperti jihad dan pengorbanan, dan lain-lain, juga membutuhkan wasathiyyah dan pendidikan ulang agar umat Islam memahami Jihad sebagai ketekunan dan kesinambungan melalui kesungguh-sungguhan dalam semua bidang usaha manusia, baik individu dan komunal.

Demokrasi menghindarkan para ekstremis yang secara kaku dan membabi buta mengikuti bentuk literal Khilafah dan cenderung mewakili radikalisme.

Masalah terakhir menyangkut penolakan total terhadap nilai-nilai dan sistem barat. Ini menghadirkan kendala terbesar, terutama pasca-9/11. Solusinya adalah wasathiyyah. Hal ini penting untuk hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat global. Untungnya, moderasi sedang mengumpulkan momentumnya sebagai kecenderungan yang terus meningkat sejalan dengan perkembangan modernitas.

Pertumbuhan gerakan kebangkitan Islam sejak Revolusi Iran (1979) telah dikaitkan dengan kegagalan pemerintah sekuler untuk memenuhi kebutuhan manusia. Akibatnya, kemenangan elektoral oleh partai-partai agama konservatif menantang para pembuat kebijakan Amerika Serikat (AS), khususnya di Timur Tengah.

Ketakutan akan Islam di Barat telah menggantikan rasa takut terhadap komunisme setelah keruntuhan Soviet, seperti halnya Komunisme menggantikan Nazisme pasca-Perang Dunia II. Sarjana barat seperti Bernard Lewis dan Samuel P. Huntington memperingatkan munculnya “Biofundamentalisme Islam” dan potensi “Benturan Peradaban”. Barat di puncak kekuatannya menghadapi non-Barat yang semakin memiliki keinginan, kemauan, dan sumber daya untuk membentuk dunia dengan cara-cara non-Barat.

Mengutip akar penyebab kebangkitan Islam sebagai “reaksi melawan korupsi pribumi, politik tirani dan represi; … [Dan] ideologi sekuler yang sakit”, Momayezi juga menulis bahwa Islam bukanlah agama yang homogen dan monolitik seperti yang dirasakan di Barat yang rakyatnya mengabaikan” keragaman dalam Islam dan kelompok dalam gerakan Islam”.
Dari segi politik Islam, muncul dua kelompok yaitu moderat dan radikal. Tujuan keduanya adalah “untuk kembali ke kebenaran dasar atau fundamental agama sebagai cara untuk menyelesaikan masalah politik, sosial, ekonomi, dan masalah kontemporer lainnya”. Kaum moderat, yang juga disebut sebagai Pembaruan Islam oleh Maghraoui, menggunakan pendekatan non-kekerasan seperti proses pemilihan umum yang demokratis, sementara “garis keras” radikal menggunakan kekerasan untuk mengupayakan transfer kekuasaan dengan cepat.

Menurut Yusuf Al-Qardawi, ekstremisme secara harfiah berarti jauh dari titik pusat. Secara kiasan, ini menunjukkan keterasingan agama dan isolasi pemikiran, termasuk sikap manusia. Namun, konsekuensi utamanya adalah paparan bahaya, itulah sebabnya Islam mendorong kesederhanaan dan keseimbangan dalam segala hal, termasuk keimanan, ibadah, perilaku, dan undang-undang.

“Ini adalah jalan lurus yang disebut al-Shirat al-mustaqim, jalannya orang-orang yang memperoleh nikmat, dan bukan jalan amarah/ekstremisme dan kesesatan”.

Moderasi dan keseimbangan adalah landmark Islam yang fundamental. Muslim adalah orang yang adil dan yang dengan hati-hati menjauhkan diri dari setiap kemungkinan penyimpangan dari “jalan lurus”, baik di dunia maupun akhirat. Teks-teks Islam memerintahkan umat Islam untuk mempraktikkan moderasi dan menolak serta menentang semua jenis ekstremisme seperti ghuluw (kemarahan), tanattu (religiusitas yang terlalu berhati-hati) dan tashdid (kekakuan dan kekerasan agama).

Pemeriksaan yang cermat atas ayat-ayat tertentu menunjukkan bahwa Islam dengan tegas melarang ghuluw.

Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga di Solopos.com