Muhammad Izra Fauzi
Indonesia adalah negara multikultural yang memiliki keanekaragaman budaya, suku, bahasa, dan agama. Semboyan Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika” bermakna berbeda-beda tapi satu tujuan. Namun realitanya, kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini belum sepenuhnya mencerminkan pada “Tunggal Ika” yang berarti satu tujuan. Secara faktual, disinyalir bahwa di Indonesia masih marak sikap intoleran terhadap sesama umat beragama (James, 2003).
Penyebab kontroversi dalam keberagaman pemahaman dikarenakan oleh adanya kepentingan tertanam (vested interest) sehingga penyikapan terhadap keberagamaan dirusak oleh subjektivitas, baik dalam aspek sosiologis, politis, ekonomis, kesukuan, daerah dan sebagainya (Jabali, 2008).
Jika dalam persoalan ini tidak segera diatasi, maka akan timbul dampak serius dalam keutuhan umat beragama, sehingga terjadi konflik dan menimbulkan sikap saling merendahkan, mengedepankan pemikiran ideologi sendiri tanpa memikirkan yang lain, bahkan membuat kebijakan dan kemajuan terhadap daerah sendiri pun terasa sulit. Lebih parahnya lagi, terjadi diskriminasi dan intimidasi antar umat beragama karena merasa paling benar. Tidak dapat diprediksi kapan permasalahan ini dapat dituntaskan.
Urgensi toleransi beragama untuk menciptakan keharmonisan umumnya sangat relevan, karena berperan penting terhadap kehidupan yang damai dan tentram antar umat beragama. Dampak begitu besar bila dikesampingkan permasalahan ini, hingga menjadi sebuah pertanyaan bagi moral dan bangsa. Oleh karena itu, pada tulisan ini dibahas tentang apa yang dimaksud dialektika Islam dan toleransi dalam kemajemukan, dan bagaimana langkah solutif moderasi beragama inklusif melalui penguatan sikap toleransi. Dari kedua pernyataan tersebut, maka tulisan ini akan menjadikan toleransi serta harmoni dalam moderasi sebagai sasaran objek dalam pembahasan, terutama solusi revitalisasi untuk mencapai perdamaian global.
Dialektika Islam dan Toleransi dalam Kemajemukan
Secara doktrinal, ajaran Islam berpandangan bahwa kemajemukan merupakan fakta nyata yang tersaji dalam hakikat ciptaan Allah. Adapun konsep yang ditawarkan Islam dalam menghadapi keberadaan kemajemukan agar berjalan harmoni salah satunya adalah konsep toleransi dalam beragama.
Toleransi merupakan bentuk akomodasi dalam interaksi sosial. Toleransi dapat dipahami secara teologis dan sosiologis. Secara teologis, toleransi adalah sikap menghargai yang dilatarbelakangi oleh perbedaan pemikiran, pemahaman, dan ajaran. Teologis secara teoritis terbagi menjadi dua bagian. Pertama, toleransi dalam internal umat beragama, di mana adanya keharusan menghargai perbedaan pemahaman dalam memaknai ajaran agama dalam berbagai madzhab. Kedua, toleransi antar umat beragama, di mana bertujuan untuk mencegah pemaksaan dalam memeluk agama dan bukan berarti sepakat untuk membenarkan agama lain yang bukan dianutnya. Kemudian pemaknaan toleransi secara sosiologis yaitu sikap menghargai yang berkaitan dengan perbedaan pendapat yang tersaji di masyarakat tanpa menghilangkan prinsip pemahaman yang dipahaminya sendiri. Prinsip ini dipraktikan oleh umat Islam agar Islam dapat diterima dalam kehidupan masyarakat dengan pemahaman yang majemuk (MUI, 2019).
Secara historikal, praktek toleransi dalam kemajemukan pertama yang telah dirintis oleh Nabi Muhammad adalah ketika Nabi menyatukan masyarakat Madinah dengan membuat Piagam Madinah, dengan upaya membentuk kesepakatan bersama antar kepentingan berbagai golongan, kabilah dan agama di Madinah. Gerakan pertama yang dilakukan oleh Nabi adalah mengakui hak eksistensi berbagai kelompok itu dalam isi Piagam Madinah. Nabi Muhammad menjadikan Piagam Madinah sebagai kontrak sosial yang mengikat dan mengatur warga Madinah, apapun agama dan sukunya (Hidayat, 2018: 118).
Langkah Solutif Moderasi Beragama Inklusif melalui Pendidikan Penguatan Sikap Toleransi
Keberadaan toleransi dalam Islam bukan untuk mengabaikan keyakinan agama seseorang, melainkan untuk menciptakan adanya interaksi sosial antar keyakinan berbeda agar saling menghargai tanpa mengurangi keyakinan yang dianutnya dan terbentuknya kerjasama yang harmonis dalam ruang publik antara keyakinan agama yang berbeda. Pembiasaan dan internalisasi sikap toleransi ini dapat disajikan melalui penyelenggaraan Pendidikan agama Islam inklusif.
Adanya interaksi antara manusia dan ajaran agama yang diyakininya dengan kapasitas diri yang berbeda-beda menyebabkan kemajemukan ekspresi budaya dalam memahami inti ajaran agama dan hal seperti itu menuntut terciptanya kondisi yang damai dan sejahtera dalam bingkai kompetensi yang positif.
Pendidikan harus menggunakan pendekatan inklusif agar peningkatan kapasitas diri manusia untuk memahami perbedaan dalam pemberlakuan ajaran tuhan terbentuk, yang nantinya mewujudkan sikap saling menghargai dan saling memahami dalam setiap perbedaan yang tersaji. Pendekatan yang tepat dalam pendidikan terutama agama adalah pendekatan non-madhhabi yang terfokus kajiannya bersifat historis, sosiologis dan empiris, serta orientasi keilmuannya lebih beragam (Azra, 2012: 206-207). Keterangan Hamka (1962: 204) dalam tatanan operasionalnya, pendidikan agama (Islam) diharuskan membuahkan hasil berupa sikap baik sesuai dengan pesan nilai yang dipahaminya dalam ajaran agama Islam.
Dalam rangka penerapan nilai-nilai agama Islam inklusif, salah satu usaha yang dapat mewujudkan hal tersebut adalah adanya kesadaran keumatan yang komprehensif, secara historis, dan secara geografis. Dengan harapan akan terjadi sikap penilaian yang proporsional dan seimbang dalam menyikapi keberagaman sehingga keberagaman tetap terjaga dalam kedamaian dengan memberlakukan sikap toleran dan saling menghargai (Majid, 2005: 163).
Sebetulnya pendidikan khususnya agama yang disajikan tidak lagi dalam bentuk kegiatan yang cenderung ke arah indoktrinasi, melainkan kesesuaian pengetahuan yang direalisasikan dalam kehidupan para peserta didik, berupa respon, penilaian dan sikap yang mencerminkan persatuan dalam keberagamaan. Pendidikan agama adalah proses yang kompleks yang memerlukan pendekatan pengajaran dan pembelajaran dengan menggunakan prinsip-prinsip pedagogis yang memanfaatkan teori-teori psikologi pembelajaran dan perkembangan manusia (Ribereu, 2001: 190)
Dalam proses pembelajaran yang baik harus terdapat proses partisipasi kelompok yang dipandu oleh guru, bertujuan memperoleh pengertian dan keputusan, bukan sebagai diktator yang melulu menuangkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik. dengan demikian, pertempuran agung atas dasar pembelaan agama tidak terjadi karena terbentuknya keharmonisan antar pemeluk agama dan saling menghargai keyakinan masing-masing.
Penutup
Berdasarkan pemaparan di atas, keberadaan toleransi dalam Islam bukan untuk menisbikan keyakinan agama seseorang, melainkan untuk menciptakan adanya interaksi sosial antara keyakinan berbeda agar saling menghargai tanpa mengurangi keyakinan yang dianutnya dan terbentuknya kerja sama yang harmonis dalam ruang publik antara keyakinan agama yang berbeda. Sikap toleran tidak tertanam dengan sendirinya tanpa adanya sebuah usaha sadar yang menginternalisasinya. Pembiasaan dan internalisasi sikap toleransi ini dapat disajikan melalui penyelenggaraan pendidikan agama Islam yang tepat.
Dalam konteks ini, penyelenggaraan pendidikan khususnya agama harus menggunakan pendekatan inklusif agar peningkatan kapasitas diri manusia untuk memahami perbedaan dalam pemberlakuan ajaran tuhan dapat terbentuk, yang nantinya terwujud sikap saling menghargai dan memahami dalam setiap perbedaan yang tersaji.
Akhirnya, harapan dalam penulisan ini, dengan mengetahui keadaan masyarakat Indonesia yang dirasa masih kurang rasa empatinya terhadap umat beragama, maka sudah sepatutnya masyarakat bangkit dari keterpurukan, dengan menanamkan kepedulian pada setiap diri sendiri. Implementasikan sikap toleran guna meningkatkan hidup yang harmonis, sehingga terwujudlah bangsa Indonesia yang tentram, aman, dan damai. Aamiiiin.