Skenario Implementasi di Berbagai Jenjang
Metode bermain peran harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif dan emosional peserta didik di setiap jenjang pendidikan:
1. Tingkat Anak Usia Dini (AUD) dan Sekolah Dasar (SD). Pada jenjang ini, fokusnya adalah pada pengenalan keragaman dan sikap menghargai. Konsepnya masih sederhana dan konkret.
Skenario: “Perayaan di Rumah Tetangga.”
Contoh Penerapan: Anak-anak berperan sebagai keluarga dengan latar belakang agama berbeda yang bertetangga. Ada yang sedang berpuasa, ada yang sedang merayakan Natal, dan ada yang sedang merayakan Nyepi. Skenario difokuskan pada bagaimana setiap keluarga saling menjaga ketenangan dan mengucapkan selamat tanpa harus ikut dalam ritual ibadah tetangganya. Ini menanamkan konsep toleransi dalam tindakan nyata dan menghormati ruang privasi ibadah.
2. Tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Peserta didik mulai mampu menganalisis konflik dan dampaknya. Skenario bisa lebih kompleks, melibatkan isu interaksi sosial dan diskriminasi.
Skenario: “Rapat OSIS dan Prioritas Kegiatan.”
Contoh Penerapan: Terjadi perdebatan dalam rapat OSIS mengenai penetapan jadwal kegiatan yang berbenturan dengan hari raya keagamaan salah satu anggota. Peserta didik bermain peran sebagai ketua OSIS, perwakilan agama minoritas, dan anggota yang bersikap kaku. Fokus pembelajaran adalah mencari solusi musyawarah yang adil (tawasuṭ), mengorbankan sedikit kepentingan pribadi demi kepentingan bersama, dan memastikan hak beribadah setiap individu tidak terganggu.
3. Tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi. Pada jenjang ini, skenario harus menyentuh isu-isu ideologis dan kebangsaan yang lebih sensitif, seperti menghadapi propaganda ekstremis, mengkritisi narasi radikal, atau mengelola konflik di media sosial.
Skenario: “Forum Diskusi Isu Negara Khilafah.”
Contoh Penerapan: Mahasiswa/siswa berperan sebagai panelis dalam sebuah forum. Ada yang berperan sebagai penganut ideologi tertutup (ekstrem), ada yang berperan sebagai tokoh moderat yang berpijak pada nilai kebangsaan (NKRI), dan ada yang berperan sebagai penengah yang skeptis. Mereka harus berargumen menggunakan dalil, etika, dan nilai-nilai kebangsaan. Ini melatih kemampuan dialog terbuka, menghormati perbedaan tafsir (tawāzun), dan mempertahankan komitmen kebangsaan (waṭaniyyah).
