Media Sosial sebagai Pencerah Moderasi Beragama Menuju Perdamaian Global

Marwanto

Indonesia merupakan negara besar yang mempunyai beragam suku bangsa, agama, budaya, bahasa dan adat istiadat yang berbeda-beda. Keberagaman itu berpotensi menimbulkan konflik antar individu dan kelompok. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang beraneka ragam diperlukan adanya moderasi beragama agar tidak ada perilaku kemerosotan yang dapat memecah belah suatu negara (Susanti 2022). Dinamika perbedaan paham tersebut membutuhkan pemahaman keagamaan yang lebih moderat. Kementerian agama harus turun tangan membuat Rumah Moderasi Beragama sebagai pelaksana penguatan moderasi beragama di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (Kementerian Agama Republik Indonesia, 2021). Penting adanya sosialisasi tentang moderasi beragama agar mampu memberikan pemahaman bagi masyarakat di Kementerian agama.

Selama ini menyebar luas ekstremisme, radikalisme dan ujaran kebencian (hate speech) yang mampu memecahkan belah pemikiran, sehingga menyebabkan perilaku anarkis oleh kelompok terhadap kelompok lainnya atau individu terhadap individu yang lain. Mereka mempunyai pandangan berbeda dan sedikit ekstrem terhadap islam. Nurdin (2021) mengatakan bahwa dalam mengartikulasikan ajaran Islam kadang muncul pandangan ekstrem oleh sebagian kelompok, sehingga kadang memicu aksi-aksi intoleran dan kekerasan. Hal ini sudah terbukti dengan adanya perusakan tempat ibadah, penolakan tempat ibadah atau pengusiran para pendakwah di suatu tempat. Dalam penelitiannya Setara Institute, menyampaikan bahwa gangguan terhadap rumah ibadah adalah tindakan menolak pendirian rumah ibadah, perusakan rumah ibadah, pembongkaran rumah ibadah, dan perusakan (Ebin et al. 2023). Konflik berbasis kekerasan di Indonesia seringkali berakhir menjadi bencana kemanusiaan yang cenderung berkembang dan meluas baik dari jenis maupun pelakunya (Hikmah and Chudzaifah 2022).

Padahal moderasi beragama merupakan istilah yang sering di dengar beberapa kurun waktu terakhir ini sebagai cara pandang agama secara moderat atau dengan istilah tidak ekstrim kiri maupun kanan. Istilah moderasi beragama sendiri berpedoman pada tafsiran Kementerian Agama  Republik Indonesia bahwa moderasi beragama sebagai sikap, cara pandang dan perilaku yang selalu mengambil tengah, bertindak adil, serta tidak ekstrem dalam beragama (Kementerian Agama Republik Indonesia, 2019). Dalam Pasal 1 Perpres tersebut menjelaskan bahwa moderasi beragama merupakan cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama dan kepercayaan yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai kesepakatan berbangsa (Perpres No. 58 Tahun 2023 2023).

Moderasi beragama berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak sebagai ekspresi sikap keagamaan individu atau kelompok tertentu. Perilaku keagamaan yang didasarkan pada nilai-nilai keseimbangan tersebut konsisten dalam mengakui dan memahami individu maupun kelompok lain yang berbeda (Kementerian Agama Republik Indonesia, 2019). Shihab (2007) menyampaikan bahwa keanekaragaman dalam kehidupan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Allah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran kandungannya, serta bentuk pengamalannya. Nurdin (2021) berpendapat bahwa moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Senada dengan Sinaga (2022) bahwa moderasi merupakan cara pandang, sikap, dan tindakan yang tidak mengambil jalan ekstrem ataupun diskriminatif. Sementara Akhmadi (2019) mengartikan moderasi dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-wasathiyah dimana kata al-Wasath bermakna terbaik dan paling sempurna.