Berbeda agama sudah pasti berbeda ketuhanan dan keyakinan, namun tidak berbeda prinsip yakni sama-sama menjadi hamba yang baik. Hamba yang baik adalah yang mengerti tentang hak dan kewajibannya, seperti melakukan kebaikan dengan pertimbangan manfaatnya dan jika melakukan kejahatan siap menerima konsekuensinya. Semua orang dibebaskan atas dasar haknya masing-masing. Dalam beragamapun tidak boleh adanya indikasi paksaan terhadap seseorang sesuai pada Pasal 22 UU HAM “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dimana semua orang berhak atas agama yang akan dijalaninya dengan sepenuh hati. Sehingga timbulah adanya sikap toleransi (tasamuh).
Sikap toleransi (tasamuh) sebenarnya sudah tertera dalam Al-Qur’an pada Surah Al-Kafirun ayat 1-6:
قُلْ يَتَأَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدُ مَا عَبَدتُّمْ (4) وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينَكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)
Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), Wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Kamu juga bukan penyembah apa yang aku sembah. Aku juga tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”
Dari ayat tersebut diperjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak akan mengusik mereka yang ingin memilih agama pilihannya. Nabi Muhammad hanya menyebarkan agamanya dan tidak pernah memaksa siapapun untuk mengikutinya. Hal tersebut juga selaras dengan arti kebebasan yang telah diajarkan Yesus yaitu hidup menurut daging atau roh. Pada Matius 19:16-23 diceritakan bahwa terdapat seorang pemuda yang berdiskusi pendek dengan Yesus yang kemudian meninggalkannya dan mengatakan bahwa ia memutuskan untuk tidak mengikuti kepercayaannya. Namun Yesus membiarkannya begitu saja tanpa harus memaksa untuk mengikuti ajarannya.
