Ria Khasna Mursyada
Moderasi, secara bahasa, merujuk pada sikap atau perilaku yang menunjukkan keseimbangan, pertengahan, atau penengahan. Dalam konteks sosial dan politik, moderasi mengacu pada pendekatan yang menekankan pentingnya keseimbangan, toleransi, dan tenggang rasa dalam menanggapi isu-isu yang kompleks dan sering kali kontroversial. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moderasi diartikan sebagai sikap yang cenderung sederhana, tenggang rasa, dan tidak ekstrem dalam pandangan atau perilaku.
Sementara itu, beragama adalah istilah yang merujuk pada keyakinan, praktik, dan nilai-nilai yang terkait dengan suatu sistem kepercayaan atau keagamaan tertentu. KBBI mendefinisikan agama sebagai sistem keyakinan dan praktik yang berkaitan dengan kepercayaan akan keberadaan Tuhan atau kuasa gaib lainnya, serta aturan dan tata cara yang berhubungan dengan kehidupan moral dan spiritual manusia.
Dengan demikian, moderasi beragama mengacu pada pendekatan yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan, toleransi, dan penghargaan terhadap perbedaan dalam konteks keagamaan. Tentunya melibatkan sikap yang terbuka dan tenggang rasa terhadap berbagai keyakinan agama, serta penekanan pada dialog antar-agama, kerjasama, dan inklusivitas dalam membangun masyarakat yang adil dan harmonis.
Melalui pendekatan moderasi beragama, kita membangun fondasi yang kuat bagi pemerataan kesejahteraan bangsa, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi tanpa diskriminasi atau ketidakadilan. Sayangnya, meskipun moderasi beragama sering digaungkan, pelaksanaannya masih belum maksimal. Padahal, masyarakat Indonesia seluruhnya beragama sebagaimana tercantum dalam Pancasila sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sudah seharusnya kita menerapkan moderasi beragama dalam kehidupan nyata, dalam konteks yang dihadapi saat ini, masalah korupsi yang semakin marak telah menimbulkan dampak yang serius pada kesejahteraan rakyat, terutama dalam sektor pendidikan.
Perihal pendidikan didapatkan data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada Juni 2023 yang dikutip dari kompas.com, angka putus sekolah di tingkat SD mencapai 0,13 persen, di tingkat SMP mencapai 1,06 persen, dan di tingkat SMA mencapai 1,38 persen. Angka-angka ini sangat mencemaskan, mengingat jumlah total murid di seluruh Indonesia yang terkena dampaknya. Ketidakmerataan akses terhadap pendidikan semakin diperparah oleh korupsi dan kegagalan dalam alokasi dana pendidikan.