Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus dialokasikan untuk sektor pendidikan. Namun, kenyataannya, implementasi undang-undang ini belum sepenuhnya berhasil. Ketimpangan yang jelas terlihat di sini. Meskipun nilai 20% dianggap sebagai nilai minimal untuk pendanaan pendidikan, kenyataannya masih banyak kekurangan dalam pelaksanaannya.
Dana yang seharusnya mencukupi untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan peserta didik justru seringkali digunakan dengan tidak tepat atau malah disalahgunakan. Hal ini menunjukkan bahwa masalah utama bukanlah kurangnya dana, tetapi kurangnya akuntabilitas dan transparansi dalam penggunaan dana tersebut. Mengapa terdapat keganjalan pada fakta di lapangan? Jawabannya mungkin terletak pada berbagai faktor, termasuk kelemahan dalam sistem pengawasan, kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka panjang bagi kemajuan bangsa, serta kepentingan individu atau kelompok yang memanfaatkan situasi untuk keuntungan pribadi.
Korupsi di sektor pendidikan tidak hanya merampas hak dasar warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak tetapi juga memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi. Ketika dana pendidikan disalahgunakan, dampaknya sangat luas dan serius, mencakup aspek-aspek berikut :
- Infrastruktur yang Buruk
Penyalahgunaan dana pendidikan sering mengakibatkan infrastruktur sekolah yang tidak memadai. Bangunan yang rusak, kurangnya fasilitas dasar seperti toilet yang bersih, perpustakaan, laboratorium, dan peralatan belajar yang memadai menjadi pemandangan umum di banyak sekolah di Indonesia.
- Kualitas Pendidikan yang Menurun
Korupsi menyebabkan alokasi dana yang seharusnya digunakan untuk pelatihan guru, pengadaan buku, dan alat peraga pendidikan tidak terealisasi dengan baik. Akibatnya, kualitas pengajaran dan pembelajaran menurun drastis.
- Putus Sekolah
Ketidakmampuan untuk mengakses pendidikan yang layak mendorong banyak anak putus sekolah. Biaya pendidikan yang tinggi, yang sebenarnya bisa ditekan dengan pengelolaan dana yang transparan dan akuntabel, menjadi salah satu penyebab utama tingginya angka putus sekolah di berbagai jenjang pendidikan.