Moderasi Beragama untuk Keadilan Gender: Memerangi Kekerasan Seksual di Era Digital

Aprilian Ria Adisti

Moderasi beragama mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, dan toleransi. Nilai-nilai ini sangat relevan dalam upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), sebuah isu nasional yang sangat santer dan membutuhkan banyak perhatian. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat tiap tahun. Tahun 2022 saja tercatat 11.637 kasus terjadi, yang artinya kurva peningkatan kasusnya terjadi secara signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. Di kota Salatiga sendiri pada 2023 ada sebanyak 52 kasus kekerasan seksual, sebagaimana disarikan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB). Data-data tersebut masih sangat berpotensi merangsek naik mengingat banyak kasus yang tidak dilaporkan.  Kondisi ini menunjukkan bahwa pendekatan baru yang lebih progresif dan holistik sangat diperlukan untuk menanggulangi isu Indonesia darurat kekerasan seksual, salah satunya melalui dakwah transformatif berbasis moderasi beragama yang menjadi kebutuhan masa kini.  

Diyakini bahwa moderasi beragama tidak hanya menjadi landasan moral dalam kehidupan beragama, tetapi juga sebagai alat untuk menanggulangi masalah sosial seperti tindak kekerasan seksual. Salah satu jenis kekerasan yang menjadi trending saat ini adalah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dan isu tentang komersialisasi perempuan di media sosial. Jumlah kasusnya terus meningkat, yakni 2-3 kali lipat tiap tahunnya menurut Komnas Perempuan. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) juga merilis jumlah KBGO tahun 2024 di Indonesia yang meningkat tajam dari tahun 2023. Jadi, apa sebenarnya relasi antara moderasi beragama dengan isu-isu tersebut? 

Moderasi beragama sejatinya merupakan cara pandang, sikap dan praktik beragama dalam kehidupan bersama yang menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dalam konteks ini, moderasi beragama memainkan peran penting dalam mempromosikan kesadaran tentang biadapnya kekerasan seksual serta pentingnya menjaga martabat setiap individu. Moderasi beragama seharusnya mampu mendorong setiap orang untuk menolak segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, termasuk pada kekerasan berbasis gender. Sikap ini selaras dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan yang diusung oleh berbagai agama, yang menekankan perlunya melindungi hak-hak perempuan dan memastikan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Bahkan Rasulullah SAW yang merupakan role model bagi umat Muslim secara tegas menentang segala bentuk kekerasan seksual dan mengajarkan kepada umatnya untuk menjaga kehormatan dan martabat perempuan. Seperti disampaikan, “Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya (istri-istrinya), dan aku adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku” (HR. Tirmidzi).

Saya beberapa kali berdikusi dengan para tokoh agama maupun dengan dosen di kalangan PTKIN. Di antara mereka ternyata masih ada yang menganut pandangan konservatif dan gender stereotipe yang kurang bijak. Pandangan tersebut acapkali menjadi akar dari diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Misalnya, pandangan tentang perempuan dalam lingkaran poligami, isu tentang perempuan dalam peran tradisional sebagai ibu dan pengasuh di rumah serta konco wingking, sementara laki-laki dianggap sebagai tulang punggung keluarga dan pemimpin. Hal ini sering kali menggiring sikap yang bisa membatasi ruang gerak perempuan dalam menggapai pendidikan tinggi, mengejar karier dan pengembangan diri.

Dalam gempuran era digital saat ini, pandangan konservatif tersebut masih saja diamini oleh banyak kalangan. Misalnya, di media sosial, stereotip gender sering digambarkan dalam konten-konten yang menyudutkan perempuan sebagai komoditas seksual yang disimbolkan secara vulgar, sementara laki-laki dianggap superior. Stereotip ini mengkristal menjadi pandangan bahwa tindakan kekerasan memang wajar diterimakan kepada kaum perempuan, karena mereka hanya sebagai makhluk kelas dua dalam hierarki relasi gender.

Selain itu, pemikiran konservatif yang menyalahkan perempuan atas kekerasan seksual yang mereka alami juga menambah derita para korban. Pandangan bahwa perempuan harus mengendalikan penampilan dan perilaku mereka untuk menghindari kekerasan seksual dapat memperkuat stigma dan menghalangi perempuan untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami. Dalam era generasi milenial dan gen Z, di mana aktivitas online semakin dominan, perempuan juga sering menjadi target pelecehan seksual dan cyberbullying

Jadi, pemikiran konservatif dan gender stereotipe yang kurang bijak makin memperkuat sikap diskriminatif dan kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu, pendidikan tentang kesetaraan gender, penolakan terhadap stereotip gender, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia perlu diperkuat dalam pendidikan dan kesadaran masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang terkadung dalam sikap moderasi beragama.

Salah satu langkah konkret yang dapat diambil untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui edukasi di media sosial. Generasi milenial dan gen Z, yang merupakan pengguna aktif media sosial, dapat berperan signifikan dalam menyebarkan konten edukatif dan menarik di platform seperti TikTok, Instagram, Twitter, dan YouTube. Konten ini bisa berupa video pendek, infografis, dan cerita yang menggambarkan pentingnya kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan bahaya kekerasan seksual. Kampanye anti-komersialisasi perempuan juga dapat dilakukan dengan menyoroti bagaimana tindakan ini merendahkan martabat perempuan dan berkontribusi pada normalisasi kekerasan seksual. Penggunaan tagar yang kuat dan konsisten untuk menyebarkan pesan dan membangun lingkaran sesama perempuan sangat diperlukan. Penguatan literasi digital juga penting tentang cara menggunakan media sosial secara bijak, mengenali dan melaporkan konten yang tidak pantas, serta menghindari situasi yang berpotensi menjadi ancaman kekerasan seksual.

Kolaborasi dengan para influencer dan aktivis yang memiliki pengaruh di media sosial dapat membantu menyampaikan pesan moderasi beragama dan pentingnya menghormati hak-hak perempuan. Dakwah inklusif melalui ceramah dan diskusi tentang isu-isu gender, kekerasan seksual, dan moderasi beragama dapat dilakukan baik secara offline di komunitas maupun online melalui webinar dan live streaming. Program mentoring dan pembinaan untuk calon female leaders juga penting sebagai bagian dari pengembangan diri bagi perempuan di masa depan.

Dalam konteks pendidikan, penerapan nilai-nilai moderasi beragama bisa dilakukan melalui reformasi kurikulum yang inklusif dan forum dialog antaragama yang membahas isu-isu gender dan kekerasan seksual untuk mencari solusi bersama. Penyediaan layanan konseling dan pendampingan bagi korban kekerasan seksual dengan pendekatan inklusif dan berperspektif adil gender, serta kerja sama dengan dinas pemerintah seperti DP3APPKB dan LSM serta sinergitas dengan organisasi hak asasi manusia untuk dukungan hukum, medis, dan psikologis, juga sangat diperlukan.

Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca untuk refleksi napak tilas perjalanan UIN Salatiga. Salah satu PTKIN di Jawa Tengah itu mengusung spirit kampus zero tolerance terhadap kekerasan seksual. Hal ini terlihat dari berbagai upaya yang telah terrealisasikan. Tahun 2022, UIN Salatiga melalui Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) menerima anugerah dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI sebagai Kampus Tata Kelola Responsif Gender Terbaik se-PTKI. Langkah konkret lainnya diejawantahkan melalui pemberlakukan Peraturan Rektor nomor B-3351 tahun 2021 tentang mekanisme PPKS yang menekankan pada nilai-nilai wasathiyah di antaranya; (1) tawassuth (mengambil jalan tengah) ketika mendapat pengaduan kasus kekerasan seksual, lembaga berusaha menyeimbangkan antara hak-hak korban dan pelaku dengan memastikan bahwa investigasi dilakukan secara objektif dan transparan; (2) i’tidal (lurus dan tegas) dalam mengimplementasikan PPKS tanpa pandang bulu tentang siapa pelakunya harus ditindak tegas;  (3) tasamuh (toleransi) dalam menangani kasus, yakni lembaga mengakui dan menghargai keragaman latar belakang baik korban maupun pelaku;  (4) syura (musyawarah) tergambar dari pengambilan keputusan terkait penanganan kasus dengan mempertimbangkan perspektif adil gender melalui musyawarah tim; (5) qudwah (keteladanan) yakni para pimpinan UIN Salatiga menunjukkan keteladanan dengan aktif terlibat dalam kampanye PPKS dan menyuarakan nilai-nilai wasathiyah, serta; (6) muwathanah (cinta tanah air) ditunjukkan dengan menjalin relasi kerjasama dengan berbagai pihak dalam penegakan PPKS yang menunjukkan komitmen dalam berkontribusi melindungi hak-hak warga negara. Meskipun peraturan ini tidak serta-merta menghapus budaya nir kekerasan seksual seluruhnya, dukungan penuh dari seluruh sivitas akademika, komunitas agama, pesantren, dan instansi terkait masih sangat diperlukan. Upaya ini tentu tidak bisa dilakukan hanya dalam sehari dua hari, setahun dua tahun, namun butuh proses dan tidak boleh surut karena isu kekerasan seksual selalu diibaratkan seperti fenomena gunung es yang berarti tersembunyi di bawah permukaan dan tidak terlihat secara langsung namun membawa dampak yang tak terkendali jika tidak bisa diidentifikasi secara dini. Terakhir, saya mengajak para pembaca dan seluruh sivitas akademika PTKI untuk menghayati dan menginternalisasikan nilai-nilai moderasi beragama dalam setiap aktivitas Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pandangan tentang moderasi beragama tidaklah sesempit hanya merupakan jalan menuju perdamaian antarumat beragama, tetapi sikap ini juga merupakan fondasi untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan bermartabat bagi semua dalam konteks pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual. Oleh karena itu, memaksimalkan peran generasi muda seperti para mahasiswa menjadi agent of change dan agent of peace melalui literasi digital sebagai bagian dari dakwah transformatif di media sosial adalah salah satu langkah strategis dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual untuk menggapai kehidupan yang aman, damai, dan bermartabat di lingkungan PTKI sehingga mampu mewujudkan spirit “Moderasi Beragama untuk Perdamaian Global.”