Moderasi Beragama untuk Keadilan Gender: Memerangi Kekerasan Seksual di Era Digital

Saya beberapa kali berdikusi dengan para tokoh agama maupun dengan dosen di kalangan PTKIN. Di antara mereka ternyata masih ada yang menganut pandangan konservatif dan gender stereotipe yang kurang bijak. Pandangan tersebut acapkali menjadi akar dari diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Misalnya, pandangan tentang perempuan dalam lingkaran poligami, isu tentang perempuan dalam peran tradisional sebagai ibu dan pengasuh di rumah serta konco wingking, sementara laki-laki dianggap sebagai tulang punggung keluarga dan pemimpin. Hal ini sering kali menggiring sikap yang bisa membatasi ruang gerak perempuan dalam menggapai pendidikan tinggi, mengejar karier dan pengembangan diri.

Dalam gempuran era digital saat ini, pandangan konservatif tersebut masih saja diamini oleh banyak kalangan. Misalnya, di media sosial, stereotip gender sering digambarkan dalam konten-konten yang menyudutkan perempuan sebagai komoditas seksual yang disimbolkan secara vulgar, sementara laki-laki dianggap superior. Stereotip ini mengkristal menjadi pandangan bahwa tindakan kekerasan memang wajar diterimakan kepada kaum perempuan, karena mereka hanya sebagai makhluk kelas dua dalam hierarki relasi gender.

Selain itu, pemikiran konservatif yang menyalahkan perempuan atas kekerasan seksual yang mereka alami juga menambah derita para korban. Pandangan bahwa perempuan harus mengendalikan penampilan dan perilaku mereka untuk menghindari kekerasan seksual dapat memperkuat stigma dan menghalangi perempuan untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami. Dalam era generasi milenial dan gen Z, di mana aktivitas online semakin dominan, perempuan juga sering menjadi target pelecehan seksual dan cyberbullying

Jadi, pemikiran konservatif dan gender stereotipe yang kurang bijak makin memperkuat sikap diskriminatif dan kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu, pendidikan tentang kesetaraan gender, penolakan terhadap stereotip gender, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia perlu diperkuat dalam pendidikan dan kesadaran masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang terkadung dalam sikap moderasi beragama.

Salah satu langkah konkret yang dapat diambil untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui edukasi di media sosial. Generasi milenial dan gen Z, yang merupakan pengguna aktif media sosial, dapat berperan signifikan dalam menyebarkan konten edukatif dan menarik di platform seperti TikTok, Instagram, Twitter, dan YouTube. Konten ini bisa berupa video pendek, infografis, dan cerita yang menggambarkan pentingnya kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan bahaya kekerasan seksual. Kampanye anti-komersialisasi perempuan juga dapat dilakukan dengan menyoroti bagaimana tindakan ini merendahkan martabat perempuan dan berkontribusi pada normalisasi kekerasan seksual. Penggunaan tagar yang kuat dan konsisten untuk menyebarkan pesan dan membangun lingkaran sesama perempuan sangat diperlukan. Penguatan literasi digital juga penting tentang cara menggunakan media sosial secara bijak, mengenali dan melaporkan konten yang tidak pantas, serta menghindari situasi yang berpotensi menjadi ancaman kekerasan seksual.