Moderasi Beragama untuk Keadilan Gender: Memerangi Kekerasan Seksual di Era Digital

Kolaborasi dengan para influencer dan aktivis yang memiliki pengaruh di media sosial dapat membantu menyampaikan pesan moderasi beragama dan pentingnya menghormati hak-hak perempuan. Dakwah inklusif melalui ceramah dan diskusi tentang isu-isu gender, kekerasan seksual, dan moderasi beragama dapat dilakukan baik secara offline di komunitas maupun online melalui webinar dan live streaming. Program mentoring dan pembinaan untuk calon female leaders juga penting sebagai bagian dari pengembangan diri bagi perempuan di masa depan.

Dalam konteks pendidikan, penerapan nilai-nilai moderasi beragama bisa dilakukan melalui reformasi kurikulum yang inklusif dan forum dialog antaragama yang membahas isu-isu gender dan kekerasan seksual untuk mencari solusi bersama. Penyediaan layanan konseling dan pendampingan bagi korban kekerasan seksual dengan pendekatan inklusif dan berperspektif adil gender, serta kerja sama dengan dinas pemerintah seperti DP3APPKB dan LSM serta sinergitas dengan organisasi hak asasi manusia untuk dukungan hukum, medis, dan psikologis, juga sangat diperlukan.

Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca untuk refleksi napak tilas perjalanan UIN Salatiga. Salah satu PTKIN di Jawa Tengah itu mengusung spirit kampus zero tolerance terhadap kekerasan seksual. Hal ini terlihat dari berbagai upaya yang telah terrealisasikan. Tahun 2022, UIN Salatiga melalui Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) menerima anugerah dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI sebagai Kampus Tata Kelola Responsif Gender Terbaik se-PTKI. Langkah konkret lainnya diejawantahkan melalui pemberlakukan Peraturan Rektor nomor B-3351 tahun 2021 tentang mekanisme PPKS yang menekankan pada nilai-nilai wasathiyah di antaranya; (1) tawassuth (mengambil jalan tengah) ketika mendapat pengaduan kasus kekerasan seksual, lembaga berusaha menyeimbangkan antara hak-hak korban dan pelaku dengan memastikan bahwa investigasi dilakukan secara objektif dan transparan; (2) i’tidal (lurus dan tegas) dalam mengimplementasikan PPKS tanpa pandang bulu tentang siapa pelakunya harus ditindak tegas;  (3) tasamuh (toleransi) dalam menangani kasus, yakni lembaga mengakui dan menghargai keragaman latar belakang baik korban maupun pelaku;  (4) syura (musyawarah) tergambar dari pengambilan keputusan terkait penanganan kasus dengan mempertimbangkan perspektif adil gender melalui musyawarah tim; (5) qudwah (keteladanan) yakni para pimpinan UIN Salatiga menunjukkan keteladanan dengan aktif terlibat dalam kampanye PPKS dan menyuarakan nilai-nilai wasathiyah, serta; (6) muwathanah (cinta tanah air) ditunjukkan dengan menjalin relasi kerjasama dengan berbagai pihak dalam penegakan PPKS yang menunjukkan komitmen dalam berkontribusi melindungi hak-hak warga negara. Meskipun peraturan ini tidak serta-merta menghapus budaya nir kekerasan seksual seluruhnya, dukungan penuh dari seluruh sivitas akademika, komunitas agama, pesantren, dan instansi terkait masih sangat diperlukan. Upaya ini tentu tidak bisa dilakukan hanya dalam sehari dua hari, setahun dua tahun, namun butuh proses dan tidak boleh surut karena isu kekerasan seksual selalu diibaratkan seperti fenomena gunung es yang berarti tersembunyi di bawah permukaan dan tidak terlihat secara langsung namun membawa dampak yang tak terkendali jika tidak bisa diidentifikasi secara dini. Terakhir, saya mengajak para pembaca dan seluruh sivitas akademika PTKI untuk menghayati dan menginternalisasikan nilai-nilai moderasi beragama dalam setiap aktivitas Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pandangan tentang moderasi beragama tidaklah sesempit hanya merupakan jalan menuju perdamaian antarumat beragama, tetapi sikap ini juga merupakan fondasi untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan bermartabat bagi semua dalam konteks pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual. Oleh karena itu, memaksimalkan peran generasi muda seperti para mahasiswa menjadi agent of change dan agent of peace melalui literasi digital sebagai bagian dari dakwah transformatif di media sosial adalah salah satu langkah strategis dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual untuk menggapai kehidupan yang aman, damai, dan bermartabat di lingkungan PTKI sehingga mampu mewujudkan spirit “Moderasi Beragama untuk Perdamaian Global.”