Pada bagian terdahulu, telah dipaparkan dan dijelaskan mengenai kerangka dasar dan ruang lingkup ajaran atau doktrin Islam dengan seluruh percabangannya. Lalu di mana letak dimensi falsafah dalam Islam?
Ritual ibadah adalah indikator utama untuk melihat kepatuhan dan kepasrahan hamba kepada Tuhannya. Ritual doa dan gerakan dalam ibadah mengembalikan manusia pada statusnya sebagai ciptaan Tuhan dengan segala keterbatasan. Secara filosofis, ibadah menyampaikan pesan bahwa manusia diciptakan setara meski beragam ras, warna, kulit, dan sebagainya. Allah tidak memandang rupa/jasad manusia dan hartanya, hanya hati dan amal manusia yang dinilai di hadapan-Nya. Ukuran utama kebaikan dan kehormatan serta kemuliaan manusia di hadapan Allah hanyalah takwa.
Ada tiga unsur utama yang terkandung dalam kesejatian ibadah:
Pertama, seorang hamba memandang bahwa seluruh kepemilikan harta, kekayaan, status sosial, dan lain-lain sebagai miliknya sementara, pemilik sesungguhnya dari semua itu ialah Allah Swt.
Kedua, semua ikhtiar dan usahanya lebih merupakan upayanya untuk menunjukkan ketaatannya kepada Allah sebagai tujuan penghambaannya;
Ketiga, ia senantiasa melaksanakan sesuatu sesuai dengan izin dan perkenan dari Allah Swt. sebagai yang paling berhak untuk menerima pengabdiannya. Ibadah murni dan ibadah tidak murni bukan semata bentuk ketaatan dan ketundukan, namun lebih dari itu ialah pengakuan akan keagungan dan kebesaran Allah Swt. tempat bersandar segala pengabdian.
Keikhlasan dan ketulusan selalu mengiring awal dan akhir suatu amalan ibadahnya. Karena itu, Ibnu Taimiyah menyatakan dengan jelas bahwa ibadah adalah sebutan yang mencakup setiap apa yang dicintai dan diridhai Allah, baik dalam bentuk perkataan dan perbuatan yang tersembunyi maupun yang nyata. Makna yang tersembunyi itulah dimensi falsafah dalam ibadah.
Thaharah adalah syarat bagi sahnya salat. Bersuci dari hadats kecil maupun besar, dari najis kecil maupun besar menjadi persyaratan sebelum ritual salat. Berwudhu dengan memulai mencuci dua telapan tangan, mencuci mulut dengan berkumur, menghisap air ke dalam hidung, membasuh muka, membasuh kedua tangan hingga siku-siku, mengusap kepala dan dua telinga, dan akhirnya membasuh dua kaki hingga mata kaki.
Secara zahir itu semua perbuatan jasmani untuk membersihkan dan menyucikan anggota tubuh sesuai dengan ketentuan syariah. Namun secara batin, berwudu mengandung makna filosofis sebagai upaya hamba untuk menyucikan mulut dari ucapan kotor, hidung dari penciuman lacur, muka dari pandangan jahat, tangan dari perbuatan laknat, telinga dari pendengaran dosa, kepala dari pikiran busuk, dan kaki dari langkah sesat.
Salat adalah ibadah khusus yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Di dalamnya terdiri dari perbuatan lahir berupa gerak tubuh dan gerak lisan (ucapan, doa) sesuai dengan ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya Muhammad SAW. Secara batin, gerakan-gerakan dan ucapannya melukiskan kandungan filosofis, berdiri dan iktidal adalah cermin kesiapan hamba untuk menghamba kepada al-Ma`bud; takbirotul ihram ialah penanda kepasrahan total hamba kepada Khalik; rukuk adalah penghormatan dan ketundukan kepada Sang Pencipta; sujud merupakan kerendahan hati dan ketawadhukan dan pemuliaan kepada yang al-Jalal; duduk adalah bersimpuh hati dan jiwa atas kebesaran dan ampunan Allah Swt; dan salam merupakan kedamaian dan ketenangan jiwa hamba yang berlimpah dari Tuhan Yang Maha Damai (al-Salam).
Imam al-Ghazali menjelaskan mengenai makna filosofis dari salat ialah: Menjaga kebersihan dan penyakit hati, bersih jasmani dari segala kotoran dan bersih hati dari penyakit ruhani seperti sombong, hasad, riya, kadzab dan lain-lain; Membiasakan hidup disiplin dan tertib, disiplin waktu dan tertib dalam kehidupan sosial; Mengendalikan hawa nafsu, dengan salat yang khusyuk membawa insan jauh dari godaan nafsu angkara, keji dan mungkar; Mengajarkan toleransi dan kebersamaan, melalui kebiasaan berjamaah sehingga tertanam kehidupan harmoni penuh ta`awun dan bekerja sama dan toleran dalam kebersamaan.
Menjalankan ibadah puasa Ramadan merupakan kewajiban ritual lahiriah, karena orang berpuasa menahan diri dari makan, minum, dan hubungan seksual sejak fajar hingga maghrib. Makan minum adalah kebutuhan fisiologis-jasmaniah, demikian juga kebutuhan seksual. Namun dalam ibadah puasa muatan filosofisnya sangatlah mendalam. Berlapar-lapar dan dahaga sepanjang hari dapat menumbuhkan empati kepada mereka yang miskin dan papa di mana lapar menjadi bagian kehidupan keseharian mereka.
Empati itu tumbuh dari “merasakan secara aktual” apa itu lapar dan dahaga yang sesungguhnya. Menahan diri dari lapar dan dahaga sepanjang hari juga membuat orang terbentuk kesabarannya. Kesabaran ini merupakan karakter penting untuk bertahan dalam kehidupan dan juga sarana menuju keberhasilan. Kebutuhan seksual yang tertahan adalah cara untuk mengendalikannya agar hamba jauh dari hasrat yang melampaui batas. Ibadah puasa merupakan ibadah yang paling rahasia. Tiada satupun dari diri kita yang dapat memastikan bahwa seseorang dalam keadaan berpuasa atau berbuka. Hanya Allah Swt. dan pelakulah yang mengetahui secara pasti ia berpuasa atau tidak. Maka kejujuran merupakan makna filosofis dari ibadah shiyam itu.
Membayar zakat, termasuk infak dan sedekah, adalah ibadah Maliyah. Bentuknya ialah mengeluarkan sebagian harta dan kekayaan yang dimiliki sesuai dengan ketentuan dari Allah Swt. dan Nabi Muhammad Saw. Targetnya adalah 8 kelompok, dikeluarkan pada saat haul (pertemuan tahun), dengan nishab dan ukuran pembayaran tertentu. Zakat ini menyadarkan kepada hamba bahwa manusia bukanlah pemilik sesungguhnya dari harta dan kekayaan. Allah lah pemilik sebenarnya semua perbendaharaan yang ada di langit dan bumi. Dengannya seorang hamba mampu menumbuhkan kedermawanan dan suka berbagi. Ia sadar bahwa dalam kekayaannya ada bagian dari fakir miskin.
Zakat juga menghindarkan diri dari sikap tamak dan rakus terhadap harta dan kehidupan dunia. Zakat menjauhkan manusia dari penyakit wahm, yaitu terlalu cinta pada dunia dan implikasinya takut akan kematian. Zakat pula membuat pelakunya bersih harta dan suci jiwa. Hartanya bersih dari hak-hak orang lain; jiwanya suci dari dosa dan maksiat.
Haji adalah ibadah perjalanan sekali sepanjang hayat. Ritualnya berupa ihram, tawaf, sai, wukuf dan kurban. Dalam berihram jemaah haji berpakaian serba putih tanpa jahit bagi lelaki, bagi perempuan diperkenankan memakai baju serba putih atau warna lain dan berjahit. Ihram mengandung makna filosofis tentang egalitarianism. Jemaah haji yang berdatangan dari segala penjuru dunia lengkap dengan perbedaan ras, warna kulit, dan bangsa, harus menggunakan pakaian serupa. Semua simbol dan status yang melekat pada diri masing-masing diperlakukan sama, wajib menanggalkan semua “baju” keseharian mereka dan berniat untuk menghamba pada Allah Swt. semata.
Demikianlah dimensi ajaran dan falsafah dalam Islam menggambarkan bahwa agama ini benar-benar berkarakter wasathiyyah, yakni menjaga keseimbangan antara ajaran yang berdimensi lahiriah-zahiriah, dan falsafah yang berdimensi batiniah.
Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga di solopos.com