Bagaimana hubungan spesifik Islam (agama) dan filsafat? Islam adalah agama ilahi. Sumber pengetahuan dasarnya adalah wahyu tetapi tidak pernah mengabaikan akal dan persepsi akal. Dalam perolehan pengetahuan dianggap perlu penggunaan akal dan persepsi indera bersama dengan wahyu. Sumber dasar dan utama dari pengetahuan bagi Filsafat adalah akal.
Filsafat dan agama (Islam) mencoba menggambarkan Realitas Mutlak, manusia, dan alam semesta menurut parameternya dan di dalam batasnya sendiri. Namun demikian ada sejumlah perbedaan dalam konotasi dan pemahaman. Misalnya, filsafat adalah kata Yunani dan memiliki etimologi maknanya sendiri dan konotasi terminologisnya. Namun, literatur dasar Islam yaitu al-Qur’an dan Hadis tidak mengenal istilah ini.
Dalam Qur’an kita menemukan kata “Hikmah” untuk semua usaha intelektual. Untuk upaya intelektual para filosof/cendekiawan Muslim, istilah Filsafat Muslim telah dan sedang populer. Tetapi beberapa sarjana barat keberatan dengan penggunaan istilah ini. Menurut mereka ada kontradiksi terletak pada istilah Filsafat Muslim?. Karena filsafat berarti pencarian realitas absolut atas dasar rasional murni sementara semua aktivitas keagamaan (Islam) terutama bertumpu pada wahyu.
Hakikat filsafat dan pemikiran filsafat adalah teoretis dan spekulatif, sedangkan tujuan agama adalah mengubah sikap, perilaku, dan gaya hidup para pengikutnya dan dengan demikian merevolusi masyarakat. Jadi ada perbedaan mendasar antara tujuan dan objek filsafat dan agama. Pada abad-abad awal Islam, para cendekiawan Muslim memulai studi tentang semua perbendaharaan pengetahuan dari seluruh dunia. Mereka secara khusus menekankan studi Filsafat Yunani.
Bersama dengan ideologi, teori, dan filsafat lain mereka menerjemahkan Filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Mereka menulis komentar dan antologi pada tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles. Dengan cara ini mereka berkontribusi dalam dimensi ini. Mereka memperkenalkan Filsafat Yunani dalam bahasa Arab. Mereka menguraikan, menjelaskan, dan menerangkan ide-ide Plato dan Aristoteles.
Mereka berkontribusi dalam filsafat dengan mengkritik ide-ide Plato dan Aristoteles. Mereka juga membangun sistem filsafat dan pemikiran mereka sendiri yang dikembangkan di atas dasar-dasar Islam dan diperkaya oleh semua perbendaharaan pengetahuan lainnya.
Jembatan Hikmah
Para filosof Muslim segera menyadari bahwa sifat filsafat itu teoretis, spekulatif, dan hipotetis. Sementara di sisi lain temperamen agama adalah realistis. Jadi pada tahap awal karier filosofis mereka, mereka mengerti bahwa kata Filsafat? tidak cukup untuk pencarian intelektual mereka. Mereka mulai menggunakan kata “Hikmah” yang disebut dalam al-Qur’an untuk kegiatan intelektual mereka.
Pada awalnya mereka menggunakan istilah “Filsafat” bersama dengan “Hikmah”. Namun lambat laun mereka mengganti istilah filsafat dengan kata hikmah.
Hikmah mengandung perspektif yang lebih luas dan konotasi yang komprehensif. Ia melingkupi semua aspek kehidupan manusia baik yang berhubungan dengan dunia ini maupun akhirat.
Sekitar 118 kali kata “hikmah” digunakan dalam al-Qur’an dalam berbagai bentuk dan nuansa. Kita dapat membuat beberapa kategori penting dari makna al-hikmah. Pertama, kata al-hikmah yang bermakna al-Qur’an. Ibnu al-Jawzi adalah salah satu mufassir yang mendukung makna ini. Bahkan kata ini digunakan secara mandiri tanpa dibarengi dengan kata al-kitab.
Al-hikmah juga telah ditafsirkan sebagai al-Qur’an dan pemahaman atau pemaknaan yang mendalam seperti tentang muhkam, mutasy?bi?, nasikh dan mansukhnya. Hikmah juga hadir dengan makna peringatan-peringatan yang terkandung dalam al-Qur’an dalam arti aturan dan larangannya, dalam rangka mengetahui hal-hal tersebut beserta hikmah di balik aturan dan larangan tersebut.
Pendek kata, tafsir tentang hikmah mengisyaratkan bahwa kata ini berarti pengetahuan tentang makna-makna al-Qur’an, realitasnya, rahasia dan tujuannya, keselarasannya dengan alam, hukumnya, halal dan haramnya, perintah dan larangannya.
Kedua, hikmah biasa dipahami sebagai Sunnah Nabi. Oleh karena itu jelaslah bahwa hikmah adalah pengetahuan tentang hukum-hukum Allah dalam al-Qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali melalui uraian dan penjelasan Nabi Saw. Bahkan dikatakan bahwa kebijaksanaan adalah penentuan keputusan hukum melalui wahyu. Namun, penafsiran hikmah sebagai sunnah lebih umum dan lebih populer.
Dengan demikian, makna hikmah dalam konteks ini adalah Sunnah Nabi yang disampaikan secara lisan yang menggambarkan dan menjelaskan segala sesuatu yang tidak dijelaskan secara rinci dalam al-Qur’an. Karena al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan dua sumber utama Islam, kita bisa katakan bahwa hikmah itu adalah agama Islam itu sendiri atau pengetahuan tentang agama Islam.
Ketiga, hikmah bermakna ilmu sejati yang dapat menggugah diri untuk melakukan perbuatan yang bermakna dan bermanfaat karena memahami bahwa ilmu tersebut mengandung rahasia, hikmah, atau hikmah yang bermanfaat dan bermakna di baliknya, dan karena itu menuntutnya untuk dipatuhi dan ditindaklanjuti.
Sebagian ulama mengatakan bahwa hikmah adalah mengetahui rahasia berbagai hal. Ada pula yang mengatakan bahwa akal (`aql) adalah sarana untuk menangkap hikmah yang ada dalam pikiran yang sehat. Hikmah itu mengetahui sesuatu yang benar dan tidak mengandung kesalahan di dalamnya, oleh karena itu bukanlah kebijaksanaan kecuali merupakan ilmu yang terlindung dari kesalahan dan kebodohan.
Dengan demikian, mereka mendefinisikan hikmah sebagai mengetahui realitas suatu hal dalam lingkup kemampuan manusia untuk mengetahui, tanpa memasukkan unsur-unsur ruwet (mutasyabih) atau dengan kata lain tidak bingung atau keliru dalam konteks mendefinisikan dan mencari illah dan argument-argumen aqli.
Hikmah merupakan kata benda jamak untuk semua disiplin ilmu atau ilmu yang membahas tentang kemaslahatan dan sistem kepercayaan manusia, dan merupakan kemaslahatan yang berkesinambungan. Hikmah juga dapat diartikan sebagai perkataan dan perbuatan yang menunjukkan dan menjelaskan kebenaran dan kelurusan, serta menolak kebatilan dan keraguan, serta membedakan keduanya. Hikmah juga menjelaskan apa yang cocok atau sesuai dengan situasi dan lahir dari hati yang murni.
Pengertian yang ketiga ini mengandung dua makna, yakni hikmah sebagai ilmu, dan hikmah sebagai filsafat. Secara etimologi, kata filsafat disebut al-falsafah atau al-hikmah dalam Bahasa Arab. Kata al-hikmah sudah lama dipergunakan di dunia Arab daripada al-falsafah. Para sarjana Arab menggunakan kata hikmah sebagai ganti filsafat dan kata hakim sebagai filosof.
Kata hikmah diklaim berasal dari kelompok sufi, mutakallimun dan filosof. Ibnu `Arabi menggunakan hikmah untuk menyebut karyanya Fusus al-Hikam; Fakhr al-Din al-Razi mengklaim kalam sebagai hikmah; dan Ibn Sina, Suhrawardi, dan Mulla Shadra menyebut filsafat sebagai hikmah.
Hikmah dalam konteks filsafat adalah upaya menyinergikan kapasitas rasio dan jiwa yang suci. Dalam sejarah peradaban Islam, upaya semacam ini dapat dikaji jejaknya dalam perjalanan kelahiran hingga perkembangan filsafat Islam. Kita menjumpai terdapat tiga kategori hikmah Dalam filsafat Islam, yaitu al-Hikmah al-Mashaiyyah (Peripatetik), al-Hikmah al-Ishraqiyyah (Illuminasi), dan al-Hikmah al-Muta‘aliyah (Transendental).
Yang pertama merujuk pada mazhab filsafat yang bersandar pada pemikiran Aristoteles. Para tokohnya ialah al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina. Yang kedua ialah filsafat yang menekankan pada pengalaman intuitif. Pendirinya adalah Syihab al-Din Suhrawardi. Yang terakhir adalah pengetahuan teoritis-spiritual yang bersifat transenden dan bersumber dari para nabi. Manusia yang mempunyai dan melaksanakannya disebut sebagai hukama’, insan kamil dan posisinya satu tingkat di bawah para nabi dan imam. Pendirinya adalah Mulla Shadra.
Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga di solopos.com