Diskusi mengenai pembaruan Islam seringkali memasuki wilayah konstanta/ketetapan (al-thawabit) dan perubahan (al-mutaghayyirat), karena pembaruan mengandung perubahan dari suatu kondisi atau keadaan sebelumnya, sebagaimana modernitas merupakan perubahan dari tradisi sebelumnya.
Oleh karena itu pembaruan senantiasa membutuhkan pintu dan pikiran yang terbuka. Mereka yang meneriakkan slogan pembaruan tanpa memperbaharui kondisinya adalah mereka yang diminta untuk membuka pintu di dinding yang tertutup, maka mereka langsung merespons dengan menggambar sebuah pintu di dinding itu.
Mereka mengklaim bahwa mereka akan melakukan pembaruan, mereka adalah walinya, dan mereka adalah pemilik kunci akal dan Syariah, namun mereka menolak untuk membuka pikiran mereka atas sesuatu yang baru. Mereka juga mengakui dimasukkannya variabel (al-mutaghayyirat) dalam agama, tetapi mereka kembali dan membekukan maknanya di masa lalu.
Upaya untuk membangun era keagamaan baru didasarkan pada banyak kontrol dan kriteria, dengan kendali utama sumber ajaran Islam berupa Al-Qur’an dan Sunnah. Segala sesuatu yang datang setelah selesainya agama bukanlah agama, melainkan upaya manusia yang bisa benar dan salah. Firman ilahi dalam Islam dimulai dengan iqra’ dan diakhiri dengan menyempurnakan agama.
Agama itu diselesaikan dengan pernyataan ilahi, dan ini adalah kata terakhirnya. Artinya firman Allah yang suci sudah tertutup. Jadi segala sesuatu yang datang setelah itu bukanlah “agama”, tetapi hanyalah usaha manusia dalam memahami agama dan menyimpulkan hukum, di mana mereka bisa benar dan bisa salah. Tidak ada manusia yang maksum kecuali Rasul yang maksum dalam hal agama melalui wahyu. Al-Qur’an Suci menunjuk Rasulullah untuk berbicara atas nama kebenaran agama.
Ada perbedaan antara “Islam” dan “warisan.” Islam (Al-Qur’an, dan apa yang telah dijelaskan oleh Sunnah yang otentik) adalah sumber ilahi, sedangkan warisan adalah pencapaian manusia, beberapa di antaranya kita hargai dan miliki. Agama pada hakikatnya adalah wahyu yang mutlak, tetapi penafsirannya merupakan karya manusia yang relatif tunduk pada perbedaan ruang dan waktu serta penilaian ilmiah berdasarkan pertimbangan kepentingan umum.
Adalah suatu kesalahan untuk mengintegrasikan karya manusia ke dalam struktur dan komposisi yang suci, dan siapa pun yang melakukan ini berarti telah memberi dirinya sendiri otoritas ilahi yang bertentangan dengan konsep tauhid yang murni dan komprehensif tentang Yang Esa, Satu-satunya Pemilik Kebenaran Mutlak.
Apa itu konstanta (al-thawabit)? Ada konstanta dalam hal sumber, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah Mutawatir. Ada konstanta dalam hal topik, yaitu segala apa kita ketahui dari agama, kemutlakan bukti dan makna, termasuk prinsip-prinsip kepercayaan, ibadah, moralitas, tujuan universal, lima kebutuhan (al-daruriyyat al-khamsah), dan prinsip-prinsip transaksi dan larangan, yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah mutawatir, seperti: Enam Rukun Iman: Percaya kepada Allah, Malaikat-Nya, dan Kitab-Nya Rasul-Nya, Hari Akhir, dan percaya takdir, baik dan nya buruk.
Rukun Islam yang Lima: Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa Ramadhan, dan haji. Ada perbedaan antara Islam dan iman: rukun Islam dapat disaksikan melalui tindakan dan ucapan yang dilakukan oleh anggota badan, mulai dari mengucapkan dua kalimat syahadat, melakukan shalat, sedekah, puasa dan haji.
Adapun rukun iman adalah perbuatan batin di dalam hati. Ini adalah keteguhan dari prinsip-prinsip iman yang murni, sebelum terjadinya konflik aliran-aliran dalam Islam seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, Syi’ah, Jahmiyyah, Murji’ah, Khawarij, Qarmatian dan lain-lain.
Perbedaan ideologi ini dipertahankan oleh beberapa pengikutnya. Perbedaan ideologi warisan lama sebaiknya ditutup jika kita memiliki niat dan kemauan untuk membangun wacana keagamaan baru. Prinsip-prinsip keyakinan telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Mutawatir. Keyakinan akan adanya Tuhan adalah mutlak, tetapi tidak ada yang memiliki kebenaran mutlak tentang-Nya, kemuliaan bagi-Nya, dan tidak ada yang berbicara atas nama-Nya atau tentang-Nya, Maha Suci Dia, kecuali Nabi.
Allah Yang Maha Esa adalah tujuan dari ibadah sejati, dan bergelut dengan kehidupan dunia adalah sesuatu yang dilakukan seorang hamba setelah ia menyelesaikan shalat dan doanya. Perumpamaan-perumpamaan tentang kehidupan yang diketahui dari sumber agama didukung dengan kepastian dalil dan makna. Kita juga harus mengikuti prinsip-prinsip moral dalam al-Qur’an dan Sunnah Mutawatir, yaitu kejujuran, amanah, keadilan, kerjasama, menghormati orang tua, dll.
Kebutuhan Darurat
Kita juga harus berusaha untuk meraih dan menjaga lima kebutuhan darurat yang meliputi memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta; Dan juga prinsip-prinsip transaksi dan larangan, seperti pencurian, pembunuhan, penipuan, dll. Di sini kita berbicara tentang prinsip-prinsip universal di mana ada teks yang benar, eksplisit dan definitif (qath`i), prinsip-prinsip yang telah dipelajari dari agama, yang terkandung dalam ayat-ayat qath`i yang merupakan induk dari kitab al-Qur’an.
Itulah al-thawabit atau konstanta dalam Islam, sementara yang kami sebut sebagai cabang (furu`) atau cabang dari ushul adalah variabel berdasarkan fakta yang merujuk pada teks-teks yang memiliki makna ganda, atau tidak mencapai jumlah kepastian yang kuat (mutawatir), atau tidak ada teks eksplisit yang definitif (qath`i).
Agama itu sendiri adalah tetap dan mutlak, tetapi cara-cara memahami dan menafsirkannya dalam teks-teks itu multi-makna dan dianggap signifikan sesuai dengan pikiran manusia dan kendalinya yang berbeda dari satu referensi ke referensi lain. Cara-cara mengunduh ketentuan-ketentuan tetapnya terhadap realitas yang berubah-ubah berbeda antara satu mazhab fikih dengan mazhab lainnya.
Oleh karena itu, ketika orang-orang Khawarij berkata: Tidak ada hukum kecuali Allah, maka Ali bin Abi Thalib menjawab dengan mengatakan: al-Qur’an berada di antara dua sampul, al-Qur’an itu tidak berbicara, tetapi manusialah yang berbicara.
Variabel-variabel dalam Islam itu termasuk teks-teks dengan makna ganda dari al-Qur’an dan Sunnah otentik, dan bidang ijtihad yang tidak ada bukti definitif (qath`i) dan konklusif yang telah ditetapkan. Berbagai cara untuk menurunkan konstanta (al-thawabit) dalam aturan praktis dapat mencakup kenyataan yang membutuhkan hukum/aturan baru, dan ini didukung oleh hadis yang bercerita mengenai inovasi yang dilakukan oleh Umar Ibn Al-Khattab.
Variabel dalam agama itu sangat banyak dan cakupannya jauh lebih luas dari cakupan konstanta, yaitu minimal 75% dari agama, dan ada yang mencapai 95%, karena mencakup semua ayat dan hadis yang ada, mengandung kata-kata atau frasa dengan banyak arti menurut aturan bahasa Arab dan kamus semantik yang tidak konklusif dalam signifikansinya terhadap satu makna Al-Qur’an dan Sunnah yang otentik. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab perbedaan ulama dan ahli tafsir dalam menentukannya. Inilah gambaran yang mewakili sisi perubahan dalam Islam.
Aspek-aspek perubahan inilah yang harus kita telaah kembali secara kritis, untuk mengembangkan ilmu-ilmu agama, bukan menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama, karena revival berarti kita akan mengubah semua variabel menjadi konstanta untuk segala usia. Jika Allah Yang Maha Suci menginginkan seluruh agama menjadi konstanta, maka Dia akan menjadikan semua ayat-ayatnya sebagai bukti yang pasti (qath`i).
Namun Al-Qur’an yang memiliki makna yang pasti itu, pada saat yang sama juga bersifat multisignifikan dan fleksibel dalam arti untuk mengakomodasi semua variabel yang berbeda menurut ruang dan waktu. (bersambung)
Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga di solopos.com