Pemahaman tentang aspek-aspek perubahan dalam Islam merupakan rahasia kebesaran Umar bin Al-Khattab dalam memahami banyak aturan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia memperlakukan keduanya sebagai hukum-hukum yang tidak tetap dalam penerapannya kepada realitas, melainkan berubah-ubah, seperti hukum terkait dengan muallaf qulubuhum, dan juga tidak menerapkan hukuman pencurian yang ditemukan pada zamannya.
Sebaliknya, meski teksnya mengandung kepastian dan kepastian signifikansi, tetapi cara membawanya ke realitas berubah. Contoh lain dari perubahan hukum dalam Islam adalah hadis Ibnu Saad tentang tindakan Umar menunda menarik zakat saat paceklik, dan di tahun berikutnya ia mengambil zakat sekaligus dua tahun.
Pertanyaannya di sini adalah: Haruskah kita mengikuti Umar ibn al-Khattab dalam pandangannya atau dalam metodenya? Mengikuti kebenaran adalah meniru pendekatannya, karena itu adalah metode ilmiah yang otentik, sementara pendapat berubah sesuai dengan kepentingan publik dan keadaan.
Bukti untuk ini adalah Umar sendiri mengubah beberapa pendapatnya ketika ia memiliki cukup alasan yang lebih baik dari pendapat sebelumnya. Dia mengubah banyak keputusan sebelumnya untuk alasan yang sama, yaitu mengubah kepentingan umum dan mengubah keadaan. Fleksibilitas teks suci perlu dipahami dalam berbagai arti dan kata-katanya sesuai dengan aturan dan kamus bahasa Arab dan tujuan umum agama.
Di antara mahakarya Umar adalah memperkenalkan sistem yang tidak ada dalam Islam, seperti biro pemerintah, dan mengambilnya dari negara lain, dan tidak mengangkat slogan bahwa kami adalah yang terbaik dalam segala hal dan kami memiliki segalanya. Umar tidak segan-segan mengambil manfaat dari sistem Persia dan Romawi, seperti Diwan Keuangan, Diwan Penciptaan, Diwan Pemberian, Diwan Prajurit, dll.
Umar menyimpan koin emas dan perak Kristen dan Persia yang beredar dan memuat prasasti mereka, dan ia adalah orang pertama yang mengadopsi prasasti Persia, dan menambahkan pada prasati itu kalimat “Tidak ada Tuhan selain Tuhan atau pujian bagi Allah. Ada pendapat yang menyerukan pengurangan lingkaran konstanta (al-thawabit) dalam Islam, dengan banyak dalih, seperti sejarah teks, fikih kemanusiaan, dan konflik doktrin dan fikih melalui praktik sejarah Islam.
Ketentuan Fikih
Menurut kaum fundamentalis, upaya untuk memindahkan sejumlah konstanta agama ke lingkaran variabel (al-mutaghayyirat) berarti menciptakan ketentuan fikih baru yang berada di luar lingkup sistem fikih itu sendiri. Dialektika konstanta dan perubahan dalam Islam berperan penting dalam pembaruan wacana keagamaan, yang menentukan bidang-bidang pembaruan yang akan dicapai dalam ruang dan waktu, dan ini berarti bahwa bidang-bidang pembaruan itu termasuk dalam lingkaran variabel (al-mutaghayyirat).
Konflik antara konstanta dan variabel ini menimbulkan pertanyaan tentang kriteria pembeda antara konstanta dan variabel dalam Islam, dan apakah konstanta dan variabel tersebut termasuk dapat disepakati ataukah terdapat perselisihan?
Menjawab pertanyaan di atas, Abdullah Al-Jabari menjelaskan bahwa dia tidak suka berbicara tentang dualitas: stabilitas dan perubahan dalam Islam. Dia cenderung pada dualitas: stabilitas dan fleksibilitas. Karena perubahan dapat menunjukkan keterkaitannya dengan keinginan dan nafsu, yang merupakan karakteristik eksternal; sementara fleksibilitas merupakan karakteristik subyektif dari agama.
Mengomentari seruan untuk mengurangi luas konstanta, Al-Jabari berpandangan: “Seruan ini melibatkan ketidaktahuan terhadap agama atau ketidaksukaan terhadapnya, karena ruang itu sejak awal sedikit. Mari kita lihat seputar wilayah hukuman (`uqubat) misalnya, karena wilayah ini banyak ditakuti orang. Hukuman termasuk dalam konstanta yang sangat sedikit, kita bisa menyebutkannya seperti hukuman bagi pembunuh, perzinahan, fitnah, pencurian, dan perampokan.
Jenis hukuman tersebut yang termasuk dalam konstanta jumlahnya relatif sedikit, jika dibandingkan dengan beberapa hukuman yang dipercayakan kepada yurisprudensi atau ijtihad di bidang fikih. Al-Jabari menambahkan bahwa hukuman membuka cakrawala ijtihad bagi para fuqaha. Jika kita menghubungkan sebagian besar hukuman dengan yurisprudensi atau ijitihad fikih, maka hukuman bukan konstanta karena dapat berubah seiring dengan perubahan keadaan, ide, orang, generasi, dan ruang.
Menurutnya, apa yang berlaku pada hukuman, juga sama berlakunya bagi yang lain. Seperti pernikahan, di dalamnya ada konstanta yang langka, yaitu mahar, sukarela atau tanpa paksaan, dan pasangan heteroseksual. Diluar itu semua tunduk pada diskusi, dan bahkan yang terkait dengan wali bisa ditangani dengan fleksibilitas, dan jika kita menambahkan aspek wali, maka ia menjadi konstanta keempat di dalam pernikahan”.
Al-Jabari menekankan bahwa “konstanta tidak tetap kecuali oleh teks yang definitif (qath`i), eksplisit dan fasih, dan teks dalam makna dasarnya adalah kata yang menunjukkan sesuatu dengan cara yang tidak mungkin diperdebatkan. Nash itu kuat.
Contohnya antara lain, untuk laki-laki, sama dengan bagian dua perempuan, dan jika perempuan hanya satu, maka dia memiliki setengah bagian harta waris, dan seterusnya. Jika tidak ada nash yang jelas dan tegas tentang masalah tersebut, maka masalah tersebut dapat berselisih sejak zaman para sahabat sampai sekarang.
Contohnya adalah warisan. Jika jumlah wanita “lebih dari dua” , maka mereka memiliki bagian dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, ayat ini meskipun tampaknya jelas dan tegas, namun bukan teks, karena para sahabat berselisih tentang hal itu. Ada yang mengatakan bahwa dua anak perempuan memiliki dua pertiga bagian, dan ada yang mengatakan bahwa dua pertiga dari bagian tiga, bukan dua, mereka berpegang pada frase “di atas dua”.
Ini adalah bukti bahwa warisan, meskipun ada teks Al-Qur’an di dalamnya, tidak semua ketentuannya merupakan konstanta (al-thawabit), tetapi fleksibilitas dan perbedaan pendapat sangat tampak di dalamnya.
Dikendalikan Hukum Syariah
Menurut Muhammad Yahya Jado, “Para ulama menemukan bahwa Al-Qur’an dan Sunnah menunjukkan hukum pada dua tingkat, tingkat qath`i (definitif, al-muhkam), dan tingkat zhanni (al-mutasyabbih), dan hasil kerja dan pertimbangan mereka terhadap teks-teks tersebut menghasilkan tiga kesimpulan. Pertama, mereka bersepakat tentang teks-teks qath`i; kedua, mereka bersepakat tentang teks-teks zhanni; dan yang ketiga mereka memperdebatkan teks-teks yang berada di antara zhanni dan qath`i.
Terhadap teks-teks qath`i para ulama bersepakat bulat. Sementara untuk teks-teks zhanni dan antara qath`i dan zhanni, para ulama telah bekerja untuk mencari metode dalam memahaminya. Setiap ulama telah memiliki sejumlah prinsip yang didapatkan dari Al-Qur’an, Sunnah dan pikiran yang jernih, seperti menggunakan analogi atau qiyas dalam membahas apa yang belum diatur, dibandingkan dengan apa yang telah ditetapkan.
Jado menyimpulkan bahwa ringkasnya, masalah stabilitas dan perubahan dipertimbangkan untuk hukum taklif, dan hukum wad`i, dan di dalamnya terdapat kesepakatan dengan suara bulat, dan juga ada yang dianggap bertentangan dengan empat atau delapan madzhab lainnya, dan di dalamnya juga ada mutakallim yang berbicara atas namanya sendiri, apakah dia termasuk mujtahid atau bukan.
Salih Hussain Al-Raqb mengidentifikasi konstanta sebagai berikut: 1) konstanta bersumber dari Agama Allah Yang Maha Esa; Sumbernya adalah Kitab Allah, Sunnah Nabi, dan konsensus (ijma`); 2) Konstanta adalah prinsip-prinsip akidah, yang tidak berubah dengan perubahan waktu dan tempat, dan prinsip-prinsip ini memiliki konstanta besar dalam kehidupan berbangsa; 3) konstanta adalah hukum-hukum wajib seperti sholat, puasa, haji dan zakat, dan ketentuan hukum seperti jilbab, warisan dan hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh nash; 4) konstanta berkisar pada seperangkat nilai dan moral yang baik. Al-Raqb menyatakan bahwa “variabel (al-mutaghayyirat) adalah ketentuan hukum syariah hasil ijtihad, yang dapat berubah dengan berubahnya peristiwa dan kendali variabelnya.
Dengan demikian, jelas bahwa variabel-variabel ini dikendalikan oleh hukum syariah: Pertama, sumber Kitab Al-Qur’an dan Sunnah, laksana matahari dan bulan yang berada di atas kepala kita, kita tidak bisa meninggalkannya. Kedua, ijtihad dengan memperhatikan perkembangan tersebut didasarkan pada metode yang benar, yaitu metode pengambilan bukti dan penimbangan bobot yang benar. (habis)
Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga di solopos.com