Moderasi Islam: Memelihara Keseimbangan Beragama (Bagian 2)

Islam tidak menoleransi hal-hal yang berkaitan dengan keimanan. Kemegahan dan keagungan Islam sebagai agama tauhid tentunya diukur dengan teladan  Nabi  SAW. Saat itu, kaum Musyirikin (kafir) telah meminta kepada Nabi SAW. untuk bergantian menganut agama. Berdasarkan petunjuk dari Allah SWT, Nabi tetap berpendirian  teguh pada masalah akidah ini.

“Katakanlah:”Hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 1-6)

Ayat ini memang ditujukan secara khusus kepada kaum Kafir yang hendak membuat suatu kesepakatan dan kompromi akidah dengan Nabi Muhammad. Mereka yang disebut Kafir (kuffar, plural) dalam ayat ini adalah orang-orang yang memang secara sengaja hendak membuat tandingan atas eksistensi Allah Sang Pencipta. Namun bukan orang-orang Kafir yang menyembah Allah. Jadi, kitab dari ayat itu adalah orang yang kufur secara akidah.

Pengulangan (tikrar) ungkapan serupa apalagi sampai tiga kali dalam surat Al-Kafirun, sebagaimana tercatat dari ayat kedua hingga kelima, menurut kaidah bahasa Arab adalah untuk menguatkan (tawkid). Ibnu Mas`ud al-Farra’ al-Baghawi menyebutnya dengan istilah tikrar al-kalam li tikrar al-waqt, artinya pengulangan kalam atau ucapan berfaidah untuk pengulangan dari segi waktu.

Dengan kata lain, apa yang diulang-ulang dalam Al-Qur’an merupakan penegasan bahwa keberlakuannya meliputi segenap waktu sekarang hingga masa yang akan datang. Yakni kata putus yang tidak dapat ditawar-tawar sebagai jawaban tegas atas pertanyaan atau permintaan yang diajukan oleh orang-orang kafir dalam hal beribadah kepada Tuhan. Dengan demikian, inti dari ayat kedua hingga kelima di mana dijumpai tikrar menegaskan suatu prinsip negasi bahwa tidak ada kompromi dalam hal akidah.

Ayat terakhir surat Al-Kafirun, lakum dinukum wa liya din, melengkapi prinsip negasi di atas dengan afirmasi perlunya penghargaan dan penghormatan atas perbedaan agama dan kepercayaan. Kalimat “lakum dinukum” adalah keputusan (taqrir) untuk ayat kedua dan keempat; sedangkan “wa liya din” adalah keputusan untuk ayat ketiga dan kelima. Huruf “lam” dalam ayat itu berfungsi sebagai ikhtishash, artinya agamamu khusus buatmu saja dan tidak  boleh dipaksakan kepadaku, dan agamaku khusus buatku dan aku tidak akan memaksakannya kepadamu.

Secara keseluruhan, surat Al-Kafirun ayat pertama hingga terakhir dapat dibedakan menjadi dua bagian. Yakni, bagian pertama merupakan pernyataan negasi atas ishtirak, yaitu suatu konsensus untuk membuat kesepakatan dalam perkara-perkara akidah dan ibadah antara muslim dan nonmuslim; penegasian atas percampuradukkan akidah dan ibadah antara agama satu dengan yang lain; dan kedua menggarisbawahi pernyataan afirmatif atas penghargaan terhadap agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang ada, membiarkan masing-masing pemeluk agama berjalan dengan keyakinan dan ritualnya sendiri tanpa diiringi pemaksaan, dan membiarkan mereka hidup dalam situasi bersama dan berdampingan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pernyataan “lakum dinukum wa liya din” merupakan manifesto quranik tentang pentingnya “saling menghargai, saling menghormati” (mutual-respect) antarpenganut agama-agama yang beragam. Pernyataan ini pula mencerminkan bahwa keyakinan bukan sesuatu yang dapat dipaksakan, keyakinan agama bukan wilayah negosiasi dan kompromi, dan bergantung pada pilihan pribadi.

Surat ini menjelaskan tentang kebebasan yang diberikan kepada agama lain selain Islam, untuk menjalankan agamanya. Karenanya, pengikut lain agama tidak bisa mengejek atau meremehkan keyakinan Islam, termasuk agama lain sesuai dengan khayalannya.

Konsep wasathiyyah dalam Islam juga menekankan pada sikap saling menghormati meskipun berasal dari agama yang berbeda. Keutamaan dan filosofi (akhlak) Nabi SAW. terhadap pemeluk agama lain harus menjadi contoh pada aspek multiagama. Misalnya, Hadis Nabi SAW., yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah: “Dikisahkan oleh Jabir bin ‘Abdullah: Prosesi pemakaman lewat di depan kami dan Nabi pun berdiri dan kami pun berdiri. Kami berkata: Ya Rasul Allah! Ini adalah prosesi pemakaman seorang Yahudi. Dia berkata: Setiap kali Anda melihat prosesi pemakaman, Anda harus berdiri.” (HR Bukhari). Jadi, berdasarkan hadis ini, jelas bahwa Islam sangat mendorong pengikutnya untuk menunjukkan rasa hormat dan berperilaku manusiawi kepada orang lain meskipun berbeda agama.

Dalam wasathiyyah Islam terkandung larangan untuk berbuat berlebihan atau melampaui batas dalam hal beragama (ghuluw).  Dalam hadis riwayat Ibnu Abbas Rasulullah berkata: “Jauhkan diri kalian dari sikap berlebih-lebihan/melampaui batas dalam hal agama. Sesungguhnya berlebih-lebihan/melampaui batas dalam agama telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR Ibu Majah dan al-Nasai).

Yusuf al-Qardhawi menyebutkan bahwa terdapat lima karakteristik orang yang menjalankan agama secara berlebihan atau melampaui batas. Pertama, sikap fanatisme buta dalam mempertahankan pandangan sendiri sembari menolak sepenuhnya pendapat orang lain. Karakteristik ini membuat pelakunya memandang pikiran dan pendapatnya sebagai absolut benar dan tidak bersedia menerima pendapat yang berbeda darinya.

Ia menolak dialog dan diskusi dan saling tukar pikiran. Hanya dirinya yang merasa pemilik kebenaran. Hal yang paling mengejutkan dari sikap orang semacam ini, ialah kebiasaan untuk memfatwakan ijtihad-ijtihad individualnya dalam masalah agama yang sulit dipahami dan menyeru orang lain untuk mengikuti fatwanya. Mereka acapkali memandang orang berbeda pandangan sebagai pelaku bidah, kufur dan  sesat.

Kedua, mereka secara sembrono membuat ketetapan wajib atas sesuatu yang tidak pernah ditetapkan wajib oleh Allah SWT. dan Rasulullah SAW. Mereka terbiasa mengajak orang lain melakukan suatu perbuatan yang menyulitkan, sementara ajaran agama memberinya kemudahan. Rasulullah sendiri bila diberikan dua pilihan, maka beliau akan memilih yang paling mudah.

Rasulullah suatu ketika marah karena ada seorang imam salat yang membuat jamaahnya meninggalkan masjid karena bacaan salatnya panjang dan melelahkan. Rasulullah sendiri membiasakan bacaan yang ringan ketika menjadi imam salat, dan bahkan mempercepat bacaannya pada saat ada seorang anak menangis. Saat ini tidak sedikit orang yang berani mewajibkan suatu hal yang tak pernah diwajibkan oleh agama.

Ketiga, kekerasan juga menjadi karakteristik sikap berlebihan/melampaui batas dalam beragama. Dakwah Islam senantiasa menunjukkan rahmatan lil `alamin; dakwah dilaksanakan dengan bijaksana (hikmah) dan pelajaran/nasehat yang baik (mau`izhah al-hasanah), dan diperkenankan melakukan dialog dengan cara yang baik.

Sekarang sering  dijumpai dakwah dengan jalan mengumpat, menghujat, dan provokasi. Rasulullah SAW. senantiasa memberikan  suri teladan terbaik dalam berdakwah dengan menunjukkan sifat kasih sayang, lemah lembut, dan tidak kasar.  Al-Qur’an membolehkan bersikap tegas hanya dalam dua kesempatan: dalam perang berhadapan dengan musuh, dan pelaksanaan sanksi hukum.

Keempat, mereka suka berburuk sangka dan mudah menuduh. Mereka gampang sekali menuduh orang lain dengan keburukan, dan pada saat yang sama menyembunyikan kesalahan sendiri dan membesar-besarkan kesalahan orang lain. Sikap ekstrem semacam ini membawa mereka melakukan takfir atas orang lain. Kelima, mudah mengkafirkan orang lain. Sikap ekstrem dalam beragama ini mencapai puncaknya dengan mudah sekali mengkafirkan orang lain dan menghalalkan darah orang lain. (habis)

Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga di solopos.com