Pelestarian kekayaan dan aset mengacu pada kesucian kekayaan anggota masyarakat, dengan penekanan pada penghasilan melalui cara-cara halal. Pemusatan kekayaan di tangan segelintir orang menyebabkan meningkatnya kesenjangan antara kaya dan miskin dan membuat orang miskin tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan dan kesehatan. Islam, untuk tujuan ini, memberikan hukum rinci yang mengatur mu’amalat dan transaksi dalam masyarakat.
Syariah sangat mendorong langkah-langkah menuju pelestarian kekayaan. Beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, mendorong perdagangan dan investasi. Untuk menjaga agar perekonomian tetap tumbuh dan berkembang, uang harus terus bergerak, berpindah dari tangan mereka yang memiliki uang berlebih kepada mereka yang membutuhkannya untuk kebutuhan dasar mereka.
Itu harus dilakukan dengan imbalan barang, jasa atau keuntungan. Sementara penyimpanan dan monopoli kekayaan dilarang keras dalam syariah. Seiring berjalannya waktu, uang kertas telah menggantikan emas, perak beserta komoditas lainnya. Pada mulanya, uang kertas dianggap sangat nyaman sebagai pengganti emas dan perak.
Namun, hari ini emas dan perak bukan lagi menjadi persyaratan saat mencetak lebih banyak uang kertas yang menjadikannya “hanya kertas”. Uang kertas ini disebut uang fiat. Beberapa ulama berpendapat bahwa terlalu bergantung pada uang kertas adalah salah satu penyebab utama krisis dan gejolak ekonomi saat ini. Syariah mendorong perdagangan dan investasi, dorongan ini tidak mutlak dan ada pedoman yang jelas mengatur sifat investasi seperti pembentukan kontrak keuangan dll. Perdagangan dan investasi adalah dua cara untuk menjaga kekayaan tetap bergerak.
Kedua, kebolehan kepemilikan pribadi di samping kepemilikan publik. Sifat manusia yang memiliki keinginan untuk menikmati hasil kerja kerasnya diakui, dihormati, dan dihargai oleh syariah. Dengan demikian, memperoleh dan memiliki kepemilikan pribadi tidak dilarang dalam Islam.
Kapitalisme dan komunisme tidak sejalan dengan syariah. Kepemilikan pribadi dalam pandangan dunia Islam sangat berbeda karena kepemilikan dianggap bersifat sementara dan pada akhirnya merupakan amanah dari Allah. Di mana investasi dan perdagangan didorong, juga diperlukan peraturan untuk memastikan bahwa kekayaan tidak ditimbun dan tidak terkonsentrasi, dan alat-alat produksi tidak dimonopoli.
Ada pedoman dalam Al-Qur’an dan sunnah yang melayani tujuan keseluruhan untuk mempromosikan keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat dan melindungi kekayaan anggotanya. Ketiga, melindungi kategori kekayaan tertentu. Islam memandang perlu untuk menahan kekayaan dan aset dalam rangka menjaganya dari pemborosan, bahkan dari pemilik yang sah, terutama dari mereka yang tidak ahli dalam mengelola urusan keuangan mereka.
Sufaha yang berarti “bodoh” atau “tidak kompeten”. Ini berlaku untuk mereka yang tidak dianggap bertanggung jawab secara hukum. Hal ini dapat diterapkan pada anak-anak dan di bawah umur, mereka yang berada di bawah usia tertentu. Kekayaan mereka dapat ditahan sampai mereka mencapai usia tertentu di mana mereka mampu mengelola keuangan mereka. Kekayaan mereka dikelola dan dipegang oleh dana perwalian sampai mereka mampu mengambil alih sepenuhnya.
Keempat, filantropi. Zakat adalah pilar keempat dalam Islam dan menjadi bagian penting dalam sistem ekonomi Islam. Setiap muslim yang memiliki nisab wajib mengeluarkan zakat. Selain zakat, sedekah juga sangat ditekankan untuk membantu yang kurang mampu dan menjaga peredaran harta ketika berpindah tangan, dari kaya ke miskin. Dalam syariah, kita memberikan apa yang telah Dia berikan kepada kita dan segala sesuatu yang dipercayakan kepada kita dari Allah.
Oleh karena itu, kedermawanan juga merupakan salah satu cara terbaik untuk menjaga agar uang tetap beredar, memberikan kepada mereka yang berhak dan paling membutuhkannya. Bukti terbaik dari peredaran ini adalah pengumpulan zakat 2,5%.
Islam juga menggarisbawahi tindakan-tindakan yang menghambat pertumbuhan kekayaan. Beberapa persoalan yang mengancam pertumbuhan kekayaan antara lain larangan menimbun. Penimbunan tidak mewujudkan tujuan penggunaan kekayaan, peredarannya hanya untuk keuntungan sebanyak-banyaknya bagi penimbunnya. Meskipun orang mungkin berpikir bahwa menimbun dapat melindungi dan meningkatkan kekayaan.
Perbedaan antara kikir dan menimbun harus dicatat di sini. Sifat di mana seseorang hanya tidak ingin menghabiskan kekayaannya disebut kikir, sedangkan penimbunan adalah mencoba untuk secara sembarangan memusatkan kekayaan di tangan sendiri atau kelompok tertentu. Itu membuat yang kaya semakin kaya dan karenanya meningkatkan kesenjangan antara si kaya dan si miskin.
Pemusatan sumber daya, industri, dan kekayaan, memberikan kekuatan kepada segelintir individu dalam suatu lingkungan, yang mengarah ke monopoli, juga bisa menjadi semacam penimbunan, sesuatu yang tidak diinginkan dalam syariah.
Larangan hidup berlebihan (israf), boros (tabdzir), dan bermewah-mewahan (bathar) dinyatakan secara eksplisit dalam Islam. Umat Islam tidak diperbolehkan untuk melakukan konsumsi yang boros dan diminta untuk bersikap moderat (qawam) dalam segala hal. Tidak ada batasan moneter untuk memisahkan moderasi dari kelebihan.
Namun, ada beberapa faktor yang jelas harus kita ingat saat berbelanja. Alasan utama di balik keputusasaan ini adalah untuk meminimalkan kesenjangan pendapatan antara kaya dan miskin. Sesuatu yang dapat menyebabkan kecemburuan dan perbedaan yang tidak sehat.
Agar konsumsi sumber daya tidak melampaui batas dalam arti berlebihan, boros dan bermewah-mewahan, maka aspek moralitas perlu ditanamkan dalam pemenuhan kebutuhan. Oleh karena itu, sistem preferensi dalam mengonsumsi harta dan kekayaan harus dibatasi dalam kerangka moral.
Untuk memenuhi tuntutan ini, syariah Islam dengan eksplisit mencegah penggunaan secara berlebihan dan pemborosan dengan cara membedakan antara kebutuhan dan keinginan, antara yang perlu dan tidak perlu, dan membaginya dalam tiga kategori yaitu daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat.
Kategori daruriyyat merujuk pada semua barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan utama atau untuk mengurangi kesukaran, kesulitan, kelaparan, kelangkaan, sehingga menjadi jelas bedanya dengan keinginan. Kebutuhan utama ini meliputi pangan, sandang dan papan.
Bila kebutuhan utama ini tidak dapat dipenuhi maka bisa membahayakan kelangsungan hidup manusia di muka bumi. Imam al-Shatibi mendaftar hal-hal daruriyyat meliputi memelihara kesehatan dan kewarasan akal (hifz al-`aql) agar perkara-perkara agama dapat ditegakkan dan dijalankan (hifz al-din); menjaga keturunan dan generasi penerus (hifz al-nasl) untuk menjalankan al-`adah; dan menjaga harta (hifz al-mal) demi mempertahankan keberlangsungan jiwa manusia (hifz al-nafs).
Kategori hajiyyat adalah istilah yang merujuk pada barang dan jasa yang berfungsi sebagai pelengkap kategori darurat, dan karenanya bersifat fleksibel. Kategori kebutuhan ini biasanya dalam ilmu ekonomi dinamakan kebutuhan sekunder. Kebutuhan sekunder adalah kelengkapan yang berada di seputar kebutuhan utama dan bermanfaat melengkapi daruriyyat. Kelengkapan ini dibutuhkan dengan maksud agar hidup manusia menjadi lebih lapang dan leluasa, menghilangkan kesempitan hidup, akan tetapi jika tidak terpenuhi tidak membahayakan kehidupan individu maupun umum.
Kategori tahsiniyyat dalam Al-Qur’an merujuk pada kesenangan, kenikmatan, dan perhiasan di dunia ini diperbolehkan. Jadi, kategori tahsiniyyat adalah istilah yang merujuk pada semua barang dan jasa yang diperkenankan oleh Allah dan tujuannya untuk memperindah atau menghiasi kebutuhan utama dan kelengkapan sekunder pada umumnya, dan karena itu bersifat komplementer, asalkan penggunaan dan pemenuhannya menjauhkan dari kondisi yang merendahkan akal sehat. (bersambung)
Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga di solopos.com