Masalah umum yang terjadi di lapangan adalah penggunaan istilah yang menjadi payung besar “Islam” dan “Islami”. Keanekaragaman yang luar biasa dari masyarakat dan tradisi etnis Muslim yang hidup, pertanyaan tentang keaslian dan subjektivitas, dan universalitas versus kekhususan, antara lain berkontribusi pada kelemahan istilah sebagai kategori analitis yang koheren.
Para pengamat mencatat bahwa klasifikasi Islam dalam pengertian ini kadang-kadang diperlakukan secara berbeda dari studi tentang agama Kristen dan budaya Barat lainnya. Seolah-olah Islam adalah mata pelajaran yang memang berbeda dari sananya. Sulitnya Islam sebagai sebuah istilah telah menyebabkan sejumlah sarjana mempertanyakan kesatuan dan kekekalan tradisi Islam, untuk berbicara tentang “Islam” dalam bentuk jamak, atau untuk mengungkapkan subjektivitas bawaan istilah tersebut dengan mengajukan pertanyaan: Islam siapa?
Letak keterbatasan dan ruang yang masih belum terungkap dalam studi Islam, serta metode dasarnya ialah berasal dari tradisi Orientalis abad ke-19. Para sarjana awal ini, seperti Ignáz Goldziher dan pendahulu mereka seperti Joseph Schacht, menerjemahkan teks dan mengembangkan narasi tentang peradaban Islam yang akan berfungsi sebagai karya seminal untuk periode waktu mereka. Ilmu pengetahuan yang mereka hasilkan kemudian dikritik oleh Edward W. Said.
Menurutnya, orientalisme dan ilmu pengetahuan yang dihasilkannya tidak lebih merupakan alat penindasan, memaksakan kategori hegemonik, klasifikasi, dan analisis yang mementingkan diri sendiri untuk kepentingan kekuatan kolonial. Sarjana lainnya menanggapi dengan mempertahankan warisan tradisi, niat dan pencapaiannya.
Metode Orientalis menyajikan fakta dalam gaya naratif linier studi filologis dengan ketergantungan berat dan hampir eksklusif pada teks, kadang-kadang disebut sebagai tekstualisme. Sementara itu tekstualisme ini akan menjadi metode inti kajian, dengan sendirinya orientalisme menderita beberapa kelemahan serius. Sebagai metode penelitian dan analisis yang sempit, narasi yang cacat telah bertahan dalam literatur selama beberapa dekade.
Sebagai contoh, karya Schacht tentang asal-usul hukum Islam adalah karya seminal di bidangnya yang terus bertahan selama beberapa tahun, meskipun salah langkah, dan karenanya ia menerima banyak kritik terus-menerus di kemudian hari. Tentu saja hal ini akan memengaruhi sejumlah sarjana yang mengandalkan premis Schacht yang salah.
Mungkin keluhan paling serius dengan tradisi Orientalis, selain dari dugaan kecenderungan kolonialnya, adalah kebiasaannya menggeneralisasi dan menyajikan konstruksi esensial dari tradisi Islam dan masyarakat Muslim berdasarkan pembacaan teks dan bias ideologis dan budayanya sendiri. Schacht dan Orientalisme secara umum telah dikritik atas dasar klaim bahwa hukum Islam mewakili “intisari” Islam, dengan mengabaikan aspek-aspek lain seperti spiritualitas sufi.
Klaim stereotip tentang hukum Islam ini berakibat membatasi penyelidikan ilmiah terhadap prisma hukum dan politik dengan mengorbankan keragaman Islam yang disebutkan di atas. Namun demikian, gaya naratif linier bukannya tanpa manfaat dan terus digunakan sampai sekarang. Para sarjana biasanya menempatkan sebuah konsep, cerita, atau praktik dalam sumber-sumber utama Islam dan menganalisisnya dalam teks-teks utama dari era pra-Islam sampai hari ini.
Misalnya, Todd Lawson menerapkan metode ini pada studi eksegetisnya tentang interpretasi Muslim terhadap ayat yang agak ambigu dalam Surat al-Nis?’ 4:157 mengenai penyaliban Kristus. Lawson menerjemahkan tafsir klasik utama dari ayat tersebut dalam lintasan yang lugas, dimulai dengan karya paling awal yang masih ada hingga zaman modern dan mewakili berbagai aliran teologi, dan berkesimpulan bahwa telah terjadi suatu gerakan oleh penafsir modern untuk menjauh dari teori substitusi apokripal dan kontroversial yang menyatakan bahwa orang lain lah yang disalib menggantikan Kristus.
Sehubungan dengan hukum Islam, penelitian modern telah sangat diuntungkan dari penggabungan dokumen arsip Ottoman, Mesir, dan lainnya untuk melengkapi pengumpulan data, meningkatkan pemahaman antara teori dan praktik hukum, dan untuk mengungkapkan apa yang tidak dapat diketahui karena tidak adanya dokumen tersebut dalam hukum Islam pra-modern.
Contoh yang sangat baik dalam hal ini adalah studi Ahmed F. Ibrahim tentang penggunaan tattabu’ al-rukhas dan talfiq, yang ia sebut sebagai eklektisisme pragmatis, menggunakan teks-teks klasik serta penyelidikan mendalam terhadap dokumen pengadilan Mesir. Segala jenis tambahan bukti dan perspektif akan cenderung memperkaya bidang studi Islam dan mencegah semacam penyederhanaan besar-besaran yang telah merusak keilmuan masa lalu.
Misalnya, Shahab Ahmed mencatat bahwa mahakarya yang populer dan sangat berpengaruh di bidang sastra Persia Divan-i-Hafiz dan etos budayanya merupakan bagian dari Islam yang otentik, meskipun kurangnya kepatuhan terhadap ortodoksi hukum yang ketat. Analisis atas karya sastra semacam itu memberikan tandingan yang mencolok terhadap pernyataan yang belum tentu sepenuhnya benar bahwa Islam terlalu berorientasi hukum dan orientasi ini mendominasi cara-cara umat Islam untuk secara historis memahami diri mereka sendiri.
Keterbatasan bawaan dalam pendekatan Orientalis, yang telah diakui oleh banyak sarjana, mendorong penekanan yang lebih besar pada pendekatan integrative-interdisipliner di samping studi tekstual, khususnya penggunaan ilmu-ilmu sosial, ilmu humaniora dan kerja lapangan antropologi, untuk menemukan realitas hidup umat Islam yang sesungguhnya. Sebuah upaya rintisan baru-baru ini adalah pendekatan yang dilakukan oleh John Esposito dan Dalia Mogahed dalam studi mereka tentang pandangan Muslim tentang hukum syariah, demokrasi, dan topik penting lainnya.
Mereka mengumpulkan berbagai data polling dan melengkapi analisis mereka dengan pengalaman hebat Esposito mengenai Islam. Pendekatan ini terbukti jauh lebih mencerahkan daripada jajak pendapat lain yang diambil, seperti jajak pendapat Pew Research Center, yang mengumpulkan banyak data menarik tetapi tidak cukup mengontekstualisasikan latar belakang data tersebut.
Peneliti Pew gagal menjelaskan dengan tepat interpretasi yang berbeda tentang syariah atau faktor-faktor mitigasi yang ketat yang mencegah penerapan hukuman hukum pra-modern yang relatif keras, sehingga memberikan amunisi kepada suara-suara anti-Muslim dan anti-imigran yang mengkhawatirkan.
Dalam hal ini, seperti halnya kajian-kajian pada masa lalu, penyajian data tanpa dukungan perspektif akademis lain tentu menciptakan gambaran yang tidak lengkap dan mono perspektif. (bersambung)
Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga di solopos.com