Moderasi Islam: Multidisipliner, Interdisipliner, Transdisipliner (Bagian 3)

Mengingat besarnya cakupan studi Islam, masa depan bidang ini harus terus memasukkan lebih banyak ilmu sosial, ilmu humaniora, kerja lapangan, dan disiplin serta metodologi lain untuk memberikan pandangan yang canggih dan hasil kajian yang lebih akurat tentang Islam, Muslim dan tradisi Islam. Di sinilah pentingnya pendekatan interdisipliner, multidipliner dan transdisipliner untuk memahami Islam.

Urgensi membangun studi dengan pendekatan lintas, multi dan trandisipliner ini mendapatkan tantangan dari kebutuhan para sarjana dan pembuat kebijakan untuk menerapkan model-model kajian terhadap isu-isu kontemporer seputar krisis imigrasi, Islamofobia, momok terorisme, dan reformasi negara-negara Muslim.

Pendekatan interdisipliner dalam kajian Islam sesungguhnya pernah ditunjukkan dalam dalam sejarah epistemologi Islam. Muhammad Abid al-Jabiri melalui karya-karyanya telah menggambarkan tentang sejumlah usaha sarjana Muslim terdahulu untuk mengintegrasikan berbagai bidang ilmu serumpun di bawah payung tiga epistemologi bayani, burhani, dan `irfani, yang kini masih menarik perhatian dan menjadi permulaan mengkonstruksi pendekatan inter-multi-transdisipliner dalam ilmu-ilmu keislaman.

Pendekatan interdisipliner dalam bidang tafsir misalnya, dapat mengambil beberapa bentuk. Pertama, pendekatan yang terjadi pada fase pembentukan dengan mengambil salah satu unsur untuk memperkaya bangunan pemikiran Islam. Inilah yang disebut oleh al-Jabiri sebagai al-tadakhul al-takwini.

Beberapa contoh bentuk ini dapat dilihat antara lain: Filosof Muslim al-Kindi berhasil mengintegrasikan elemen bayan ke dalam burhan, dan menjadi awal mula tumbuhnya filsafat kalam. Al-Harith al-Muhasibi telah berupaya untuk memadukan antara bayan dan `irfan, di mana bayan berada di bawah payung `irfan yang kemudian melahirkan tasawwuf sunni.

Ibn Sina mempertautkan antara kalam dan filsafat, filsafat dengan tasawuf, yang tujuannya untuk menegakkan pendekatan burhani pada setiap aspek dalam ilmu kalam dan keputusan-keputusan ilmu tasawuf, serta memerankan fungsi filsafat dan mantiq (logika) pada setiap keputusan kalam dan tasawuf. Filsafat agama aliran Hermes menjadikan filsafat Aristoteles sebagai inti dan mengadopsi pendapat-pendapat dan banyak filsafat lainnya.

Ikhwan ash-Shafa dan Filsafat Ismailiyah telah memasukkan unsur burhan kedalam `Irfan. Burhan oleh al-Farabi didialogkan dengan `irfan aliran Hermes. Kedua, integrasi antara berbagai bangunan pemikiran yang bermacam-macam, dan mengumpulkan serta menyusun bagian-bagiannya dalam satu bangunan yang sempurna. Upaya ini disebut sebagai al-tadakhul al-talfiqi. Usaha ini ditandai oleh keberhasilan al-Ghazali.

Untuk mempertahankan bayani, ia menggantikan qiyas (analogi) burhani dengan qiyas bayani pada ma`qulat. Ia juga mengganti `irfan sufi dengan suluk fiqhi-ruhi, dan membangun kalam dengan syiyagh (pendekatan) burhani serta membuang unsur filsafat. Sementara Ibn `Arabi mengupayakan `irfan menjadi bagian dari bayan.

Suhrawardi al-Halabi membangun pemikiran Islam antara Ibn `Arabi dan `Irfan sufi. `Irfan Ismailiyah dibangun atas dasar `irfan dan burhan. Pada periode tajdid muncul kreasi dari beberapa tokoh terkemuka seperti Ibn Rushd dengan pertautan burhan dan bayan. Ibn Hazm di bidang ushuluddin menawarkan manahij al-adillah, dan al-Syatibi di bidang usul fikih muncul dengan tawaran maqasid al-syari’ah melalui pendekatan istiqra’ma`nawi (induksi-tematik). Ibn Taimiyah menegakkan salafi baru di bidang fikih Hanbali dengan pendekatan hikmah.

Aksiologi Kehidupan

Perlu kiranya kita melihat beberapa contoh kajian dengan sifat inter, multi, dan transdisipliner. Contoh pertama ialah bioetika. Bioetika adalah salah satu disiplin ilmu baru yang lahir dari corak keilmuan pasca-nonklasik. Bioetika merupakan suatu studi interdisipliner dan transdisipliner tentang masalah moral dan sosial yang disebabkan oleh perkembangan teknologi biomedis modern.

Konsep ini membentuk paradigma pemahaman filosofis-ilmiah seperti masalah pembenaran aksiologis kehidupan dan kesehatan manusia di dunia modern, yang mengasumsikan kerja sama antarperwakilan dari berbagai disiplin ilmu, dan perluasan pandangan ilmiah.

Bioetika mengintegrasikan pengetahuan alam dan ilmu-ilmu Sosial-Humaniora, yang dapat berguna dalam melindungi kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraan manusia dari semua risiko yang termasuk dalam penemuan peradaban modern. Bioetika interdisipliner dan transdisipliner ditentukan oleh kompleksitas masalah bioetika dan tuntutan solusi kompleksnya.

Bioetika mengkooptasi informasi dari banyak bidang pengetahuan ilmiah dan ekstra-ilmiah tentang dunia, baik ilmu alam, kedokteran, yurisprudensi, antropologi, sosiologi, ekologi sosial, sastra, dan sejarah. Ide-ide filosofis –terutama sosio-filosofis dan etika– dan agama memainkan peran penting dalam bioetika sebagai bentuk baru dari kognisi ilmiah. Masalah utama bioetika adalah pembentukan dalam kesadaran publik tentang aksiologi kehidupan.

Kedalaman dialog bioetika interdisipliner dan pluralistik ditunjukkan oleh Deklarasi Universal tentang Bioetika dan Hak Asasi Manusia, diterima pada 19 Oktober 2005 oleh sesi ke-33 Konferensi Umum UNESCO: “Tujuan Deklarasi ini adalah: untuk mendorong dialog multidisiplin dan pluralistik tentang masalah bioetika antara semua pemangku kepentingan dan masyarakat secara keseluruhan.”

Aksiologi kehidupan merepresentasikan sistem nilai yang terorganisir secara hierarkis; kehidupan manusia adalah yang utama dalam sistem ini. Turunannya adalah nilai-nilai yang mengisi hidup dengan akal, melakukannya dengan sempurna dan penuh dengan kekuatan dan dorongan untuk hidup.

Ini adalah nilai-nilai seperti kesehatan dan kesejahteraan, kebebasan dan martabat, kesetaraan dan belas kasihan, dll. Oleh karena itu, tampak bahwa konstruksi aksiologi kehidupan adalah vektor humanistik umum yang mengarahkan pengetahuan pada kesejahteraan orang— satu-satunya tujuan ilmu yang tepat.

Prinsip Wasathiyyah

Dalam konteks Islam, Sains Halal adalah salah satu disiplin yang dihasilkan melalui pendekatan transdisipliner. Sains Halal dapat didefinisikan sebagai pengetahuan tentang Halal yang diperoleh secara sistematis melalui pengamatan dan studi eksperimen dan praktek untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena alam yang berhubungan dengan praktek halal.

Bidang ilmu kehalalan merupakan salah satu bidang yang terkena dampak, baik secara langsung maupun tidak langsung, akibat perkembangan sains hari ini. Adapun metodologi kajian ilmu halal mirip dengan penelitian dan kajian ilmu Barat, melalui proses hipotesis dan memiliki teori tersendiri.

Oleh karena itu, penelitian dalam ranah sains halal meliputi banyak bidang disiplin baik yang serumpun maupun tidak serumpun, yang tujuannya untuk membuat suatu sintesis ilmiah dan sekaligus memecahkan masalah nyata.

Dalam sains halal kita membutuhkan dialog berbagai disiplin ilmu: dari rumpun Studi Islam, kita membutuhkan usul fikih, fikih, studi Al-Qur’an dan hadis; dari rumpun ilmu alam, sains halal memerlukan teknologi pangan, ilmu kimia, farmasi dll; dari ilmu sosial sains halal membutuhkan ilmu Pendidikan misalnya; dan dari ilmu humaniora sains halal melibatkan ilmu filsafat/etika dan antropologi.

Paparan di atas secara umum menggarisbawahi bahwa Islam mementingkan prinsip wasathiyyah dalam pengembangan epistemologi dan metodologi di mana berbagai rumpun dan disiplin ilmu dapat saling menyapa, saling mengisi, saling melengkapi sehingga lahir pendekatan inter-multitransdisipliner untuk melahirkan ilmu-ilmu baru sekaligus praksis pemecahan masalah kehidupan bersama umat manusia. (habis)

Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga di solopos.com