Moderasi Islam: Narasi dan Mitos (Bagian 1)

Agama-agama pada umumnya mengenal dimensi narasi dan mitos. Demikian pula dengan Islam. Dimensi narasi berisi kisah-kisah sejarah yang dapat dibuktikan kebenarannya secara historis dan historiografi. Seperti Sirah Nabawi yang mengandung catatan-catatan sejarah perjalanan kehidupan Nabi sebagai seorang orang suci dan terpilih.

Kisah-kisah ini ditransmisikan baik secara oral maupun tertulis. Sementara itu, mitos dipahami sebagai kisah-kisah, cerita-cerita, yang berkaitan erat dengan dimensi yang adikodrati dan sifatnya parahistoris (Smart, 1998). Hal yang dipahami sebagai parahistoris di sini ialah suatu peristiwa atau kejadian yang tidak dapat dibuktikan sebagai suatu peristiwa atau kejadian historis menurut ukuran-ukuran historiografi modern. Tetapi, para pemeluk agama mempercayai bahwa ada suatu klaim kebenaran historis di dalam kisah-kisah dan cerita-cerita suci tersebut.

PromosiCucok Bun! Belanja Makeup di Tokopedia Sekarang Bisa Dicoba Meski Lewat Online

Meskipun demikian, mitos juga sama pentingnya dengan narasi bagi agama dan para pemeluknya. Dimensi mitos ini bagaimanapun dapat membantu untuk membentuk masa lalu dan memberikan arah dan cermin pada kelompok keagamaan yang meyakininya. Lebih dari itu, dimensi mitos juga menyampaikan kabar tentang asal-usul manusia dan penciptaan dunia dan manusia. Dengan demikian, identitas manusia dan juga harkat dan derajat manusia ditentukan dari kisah-kisah ini. Kisah-kisah mitos juga memberikan pengetahuan mengenai waktu, realitas, kematian, dan hakikat yang transenden.

Van Peursen (1976) mendefinisikan mitos sebagai cerita-cerita yang memberikan pedoman atau petunjuk tertentu pada komunitas atau masyarakat. Cerita-cerita tersebut bisa berbentuk simbol-simbol yang melukiskan tentang kehidupan dan kematian, kebaikan dan keburukan, perkawinan dan kelahiran, dosa dan penyucian, akhirat, surga, dan neraka. Di sisi lain, mitos juga dapat dimaknai sebagai sesuatu yang berhubungan erat dengan peristiwa dan keadaan mistis di mana manusia merasa dikepung oleh kekuatan-kekuatan ghaib di lingkungan sekitarnya. Misalnya berupa kekuatan dan pengaruh dewa-dewa semesta raya atau kekuasaan kesuburan.

Para antropolog memahami mitos sebagai sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk memperoleh penjelasan mengenai alam alam dan sejarah masa lalunya. Mitos sangat berhubungan erat dengan kepercayaan agama. Ia memiliki peran penting bukan hanya karena mengandung muatan-muatan kegaiban dan menyajikan berbagai peristiwa adikodrati dan makhluk-makhluk adikodrati. Mitos juga berfungsi untuk meneguhkan eksistensi bagi kehidupan manusia.

Menurut Malinowski (1954), mitos bagi kebudayaan primitif berfungsi untuk mengekspresikan, menjunjung tinggi dan merumuskan kepercayaan, memproteksi dan meneguhkan nilai-nilai dan moralitas, menjaga ritus-ritus, dan mengandung aturan-aturan praktis guna memberi petunjuk dan pegangan bagi hidup manusia. Bagi masyarakat primitif, mitos sesungguhnya bisa memerankan diri sebagai kepercayaan agama, karena konsep keagamaan dalam masyarakat semacam ini masih sangat sederhana.

Sejalan dengan perkembangan pemikiran dan peradaban manusia, mitos secara perlahan pada akhirnya mengandaikan suatu ontologi dan dapat berbicara tentang kehidupan-kehidupan yang riil dan peristiwa-peristiwa duniawi yang terjadi. Arkoun (1999) memandang bahwa mitos bukan selalu berhubungan dengan kepercayaan agama. Mitos ibarat langit dan cakrawala yang luas membentang dan memayungi eksistensi serta momot makna.

Ia laksana mimpi-mimpi tentang kebajikan abadi dan khayal segar yang membangunkan stamina dan vitalitas dalam wujud dan membebaskan manusia dari kegamangan dan desakan realitas.

Beberapa gambaran mitos dalam sistem kepercayaan Islam dapat disebutkan di sini sebagai berikut. Lukisan tentang kehidupan di taman-taman surga yang penuh kenikmatan, anugerah, dan keindahan. Suatu kehidupan yang pernah dialami oleh Adam dan Hawa lengkap dengan semua kesenangan dan kebahagiaan.

Taman-taman surga menyediakan semua kebutuhan dan keinginan dua sosok manusia ini. Tidak akan pernah merasakan lapar dan dahaga. Kebutuhan dan kesenangan makan minum tersedia berlimpah dan tak akan pernah kekurangan. Makan makanan terbaik dan minum minuman terlezat. Surga yang indah dihiasi gemercik suara air dari sungai-sungai yang mengalir di bawahnya. Segar, asri, dan panorama indah menjadi pemandangan setiap waktu.

Sungai madu dan sungai susu dapat dinikmati kapan pun mereka mau. Kesenangan dan kenikmatan seksual juga telah tersedia. Para bidadari surgawi siap melayani kapan dan di mana pun.

Di tengah-tengah keberlimpahan surga itu, Adam dan Hawa hanya diminta oleh Allah Swt. Untuk mematuhi satu larangan saja, yaitu jangan mendekati pohon Khuldi, pohon keabadian. Namun iblis menggoda keduanya sehingga mereka mendekati pohon tersebut. Itulah yang menyebabkan mereka diusir oleh Allah Swt dari surga dan turun ke bumi.

Muhammad Ahmad Khalafullah dalam bukunya Al-Fann al-Qashash fi Al-Qur’an al-Karim memberikan contoh ayat-ayat yang berkaitan erat dengan tema unsur mitos dalam Al-Quran. Yakni: Al-An’am: 25, Al-Anfal: 31-32, An-Nahl: 24, Al-Mu’minun: 83-84, Al-Furqan: 5-6, An-Naml: 67-68, Al-Ahqaf: 17, Al-Qalam: 10-15, Al-Muthaffifin: 10-13.

Kesemua ayat-ayat itu mengandung redaksi yang mirip dengan bunyi asatir al-awwalin yang berarti “(ini adalah) dongeng-dongeng dari umat terdahulu”. Ayat ini menceritakan respons non-muslim ketika itu saat mendengarkan isi kandungan Al-Quran.

Dalam beberapa hadis dapat pula dijumpai dimensi mitos. Dapat disebutkan di sini misalnya, hadis mengenai keberkahan dan kemuliaan air Zamzam yang dipandang sebagai berasal dari surga, termasuk hadis yang menerangkan bahwa air Zamzam memberikan efek menghilangkan haus dan lapar, serta memberikan manfaat penyembuhan penyakit.

Mitos-mitos tentang air Zamzam ini berasal dari Rasulullah yang mempunyai kapasitas untuk berimajinasi mengenai kemuliaan dan khasiat air Zamzam. Jadi hadis di satu sisi bisa tampil sebagai ajaran dan di sisi lain hadir sebagai daya imajinasi Rasulullah.

Cerita lain yang mengandung muatan mistis dapat ditemukan di kalangan sahabat dan tabiin. Syaiban an Nakhai (tabiin) misalnya. Tatkala ia pergi bersama kaum muhajirin untuk berjihad, tiba-tiba didapatkan keledainya mati. Para sahabatnya tetap mendorong agar mereka melanjutkan safar dengan menaiki keledai yang ada. Akan tetapi ia bersikukuh menolak sembari menengadahkan tangan seraya berdoa:

“Ya Allah, aku pergi dari Daitsanah untuk berjalan di jalan-Mu dan mencari ridha-Mu. Aku bersaksi bahwa Engkau kuasa menghidupkan orang-orang yang mati dan membangkitkan kembali orang-orang yang berada di dalam kubur. Ya Allah tolong hidupkan kembali keledaiku.”

Setelah berdoa, Nakhai mendekati keledainya dan memukulnya, seketika hewan itu dapat berdiri dan menggerakkan telinganya.

(Bersambung…)

Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga. di solopos.com