Moderasi Islam: Sosial & Institusional (Bagian II)

Joachim Wach dengan sangat prolifik dan rinci menjelaskan mengenai dimensi sosial dari agama. Menurutnya, inti agama adalah iman (faith). Iman pada setiap individu mempunyai sifat unik dan privat.

Dengan kata lain, meskipun sekelompok orang berasal dari iman yang sama, namun pengalaman iman atau pengalaman keagamaan (religious experience) setiap individu bisa berbeda dan tak serupa. Masing-masing individu pemeluk agama/iman akan mengalami keberimanannya secara individual juga.

Promosi7 layanan digital untuk indonesia terus maju

Itulah sebabnya iman sebagai pengalaman batin bukan merupakan wilayah dari kajian ilmiah. Namun demikian, menurut Wach, pengalaman iman, pengalaman keberagamaan yang individual, privat, dan unik memiliki peluang untuk dipahami dan dikaji melalui ekspresinya. Tiga ekspresi pengalaman keagamaan itu meliputi ekspresi pemikiran (theoretical expression), ekspresi tindakan (practical expression) dan ekspresi pengelompokkan sosial (sosiological/fellowship expression).

Wach mengemukakan pengalaman keagamaan itu memiliki beberapa karakteristik penting yang patut diperhatikan. Pertama, pengalaman keagamaan adalah respons manusia terhadap Realitas Ultim (The Ultimate Reality). Realitas Ultim ini adalah sesuatu yang “memberi kesan mendalam sekaligus sangat menantang”.

Pengalaman mengenai Realitas Ultim ini melibatkan 4 hal: Pertama, kesadaran dan konsepsi mengenai Realitas Ultim; respons individu atas Realitas Ultim dilihat sebagai bagian dari perjumpaan; pengalaman individu mengenai Realitas Ultim mengandaikan suatu hubungan dinamis antara subjek yang mengalami dan objek yang dialami; dan karakter situasional dari pengalaman keagamaan dalam suatu konteks tertentu perlu dipahami.

Kedua, pengalaman keagamaan pada hakikat merupakan respons komprehensif atas Realitas Ultim, yaitu pribadi utuh yang melibatkan jiwa, emosi dan kehendak. Oleh karena itu, pengalaman keagamaan memuat hirarki tiga elemen utama — intelektual, afeksi, dan kesukarelaan.

Ketiga, pengalaman keagamaan memerlukan intensitas, yakni pengalaman yang sangat impresif, menyeluruh dan mendalam. Para pendiri agama sepanjang zaman telah menghadirkan intensitas ini dalam pikiran, ucapan maupun tindakan. Dalam Islam kegairahan akan perjumpaan dengan Allah Swt. telah membangunkan spiritualitas Nabi Muhammad Saw., dan para pemuka agama lain sesudahnya seperti, Abu Mansur al-Hallaj, Rabiah al-Adawiyah, Ibnu Taimiyah, Jamaluddin al-Afghani, Ahmad Ibnu Hanbal, dan lain-lain.

Keempat, pengalaman keagamaan yang hakiki pasti senantiasa termanifestasi dalam bentuk tindakan. Pengalaman keagamaan membutuhkan imperatif, sumber dorongan dan tindakan yang impresif. Praktik-praktik dan tindakan-tindakan individu dalam kehidupan keseharian adalah bukti nyata bahwa individu yang bersangkutan merupakan pemeluk agama sejati.

Empat karakteristik ini menyatakan bahwa pengalaman keagamaan yang hakiki adalah pengalaman batin sebagai akibat perjumpaan antara manusia dan pikiran manusia dengan Realitas Ultim. Ekspresi pengalaman keagamaan dalam bentuk fellowship, atau jemaah adalah pengelompokan-pengelompokan sosial para pemeluk agama dalam komunitas dan masyarakat keagamaan. Karena keserupaan-keserupaan ekspresi pikiran dan tindakan, maka kelompok-kelompok keagamaan dapat membentuk diri.

Memiliki Jemaah Tersendiri
Setiap agama maupun sistem kepercayaan yang hidup dan tumbuh di muka bumi ini sudah dapat dipastikan memiliki jemaah tersendiri. Jemaah, umat, dan kelompok keagamaan ini berkembang sebagai implikasi dari karakter manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial. Jemaah dan komunitas keagamaan adalah tempat dan cara untuk menemukan, mewujudkan, dan menjalankan kebenaran yang diyakini.

Jemaah atau komunitas keagamaan melampaui sekadar perkumpulan atau asosiasi, tetapi juga merepresentasikan mikrokosmos dengan seluruh hukumnya, pandangan mengenai kehidupan, sikap dan suasana kehidupan. Kelompok dan komunitas keagamaan sudah lama menjadi materi dalam banyak kajian Sosiologi Agama.

Kita bisa menyebutkan di sini antara lain adalah tentang struktur kelompok keagamaan. Struktur kelompok keagamaan sangat dipengaruhi faktor-faktor keagamaan dan faktor non keagamaan. Anugerah-anugerah spiritual seperti penyehatan spiritual dan pengajaran merupakan dua contoh faktor keagamaan; sementara posisi sosial, usia, latar belakang, dan etika merupakan faktor nonkeagamaan.

Terdapat empat faktor yang memengaruhi diferensiasi dalam kelompok atau komunitas keagamaan: Pertama, diferensiasi dalam fungsi. Kita menyaksikan di dalam suatu kelompok kecil sekalipun yang mengalami pengalaman keagamaan bersama, dengan mudah kita dapat menemukan pembagian fungsi.

Misalnya dalam Islam, ketika kita merayakan Iduladha atau hari raya kurban, kita mendapati jemaah yang lebih tua dan lebih berpengalaman biasanya akan menjadi imam salat, khatib, pelantun takbir, tahlil dan tahmid. Sementara anggota jemaah yang lebih junior bertanggung jawab untuk mempersiapkan semua kebutuhan penyembelihan kurban hingga distribusi daging kurban kepada orang-orang yang membutuhkan.

Kedua, diferensiasi berdasarkan karisma. Dalam komunitas dan kelompok keagamaan yang paling egalitarian sekalipun, kita menjumpai adanya pengakuan akan perbedaan dan keragaman anugerah yang merepresentasikan perbedaan prestise, otoritas, dan posisi dalam komunitas. Max Weber berhasil melakukan perluasan karisma personal dan karisma resmi.

Ketiga, diferensiasi berdasarkan pembagian alamiah menurut jenis kelamin, keturunan, dan umur. Orang muda dan orang tua dapat mengambil peran berbeda dalam kehidupan kelompok keagamaan baik secara individual maupun kolektif. Perempuan dan lelaki seringkali dipisahkan dalam kultus atau fungsi-fungsi tertentu, sementara di lain aktivitas mereka dapat bercampur baur.

Keempat, diferensiasi berdasarkan status. Status sosial dalam masyarakat diukur dari jabatan, kekuasaan dan profesi. Organisasi keagamaan dalam komunitas atau masyarakat dapat berbentuk persaudaraan. Islam memperkenalkan konsepsi tentang ummah, yang merupakan kumpulan orang-orang beriman di bawah kepemimpinan seorang imam atau khalifah.

Ummah dalam Islam berjenjang dari mulai ummah sebagai komunitas orang beriman yang bersifat eksklusif; ummah sebagai komunitas yang inklusif dan lebih besar; ummah dalam arti masyarakat atau bangsa; dan ummah yang mencakup seluruh umat manusia. Dalam kelompok-kelompok ummah itu biasanya akan dijumpai seorang pemimpin yang menjadi kultus yang menyatukan dan merekatkan persaudaraan, baik di kalangan Sunni maupun Syiah, baik aliran arus utama maupun organisasi-organisasi sempalan/sekte.

Dimensi Sosial dan Institusional
Diskusi tentang dimensi sosial dan institusional dalam Islam pada akhirnya sampai juga pada bahasan mengenai hubungan antara agama dan negara. Orientasi politik dalam Islam telah mendorong agama ini bergerak keluar melampaui batas-batas teritorial jazirah Arab dan batas-batas etniknya.

Sejarah Islam menggambarkan pada awal-awal berkembang sistem teokrasi. Pertumbuhan ini terus berlanjut sehingga berkembang variasi sistem pemerintahan dan bentuk negara-negara Islam sesuai dengan interpretasi dalam ruang dan waktu yang berbeda.

Konsep utama dalam teori politik Sunni adalah kekhalifahan. Pasca Nabi Muhammad wafat, sistem politik Islam berbentuk kekhalifahan mulai para sahabat empat dan seterusnya. Kekhalifahan Ummayah menunjukkan perkembangan sistem politik yang meningkat di mana terdapat tiga fungsi pemerintahan, yakni administrasi politik, pengumpulan pajak, dan kepemimpinan agama berada di bawah tiga Lembaga resmi. Hingga kekhalifahan Ummayah di Spanyol di bawah Abdurrahman III, tidak dijumpai konflik antara negara dan agama dalam Islam karena Islam tidak pernah mengenal badan gerejawi (ecclesiastical body), untuk tidak mengatakan konstitusi hirarkhis.

Sebutan Khalifah dan Amir al-Mukminin menjadi corak khas politik Sunni, sementara Syiah lebih menyukai atribut Imam. Di sini terlihat bahwa bentuk negara dan sistem pemerintahan yang dikenal dalam Islam tidak condong pada bentuk teokratis ataupun pada bentuk sekularistik. Sistem politik Islam bergayung di antara dua kecenderungan tersebut. Jadi, sekali lagi kenyataan historis ini menguatkan wasathiyyah Islam dalam dimensi sosial dan institusional, tak terkecuali dalam bidang politik. (habis)

Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga di solopos.com