Moderasi Islam: Tujuan dan Sarana (Bagian 2)

Masih dalam hubungan antara tujuan (maqashid) dan sarana (wasa’il), di sini perlu dijelaskan mengenai karakteristik wasa’il. Pertama, wasa’il mengikuti maqashid dan bawahannya. Kedudukan wasa’il dan tingkat kepentingannya selalu ditentukan oleh dan sesuai dengan tingkat maqashid. Dengan demikian, wasa’il mengikuti maqashid dan melengkapinya.

Al-Izz Abdul Salam menyatakan: “Wasa’il mengikuti hukum maqashid, maka wasilah untuk meraih maqashid tertinggi itu sendiri merupakan tingkat wasa’il tertinggi, dan wasilah ke tingkat maqashid terendah adalah tingkat wasa’il terendah.

Al-Shatibi menambahkan: “Telah disimpulkan bahwa wasa’il sebagai sarana tidak dimaksudkan untuk dirinya sendiri, wasa’il adalah bawahan (taba’) dari maqashid, sehingga jika maqashid dijatuhkan, wasa’il juga akan dijatuhkan.”

Kedua, dinamisme wasa’il. Sifat hubungan sebab akibat antara maqashid dan wasa’il mengharuskan satu wasilah dapat melayani beberapa maqashid, demikian pula sebuah maqashid dapat dicapai melalui banyak wasa’il. Contoh untuk kedua aspek ini tidak terhitung dalam aturan Syariah. Misalnya, zakat adalah wasilah untuk mencapai beberapa maqashid seperti mensucikan jiwa, menanamkan rasa syukur atas karunia Allah dan memerangi kemiskinan serta ketidakadilan dalam masyarakat.

Adapun kategori kedua adalah seperti tujuan perlindungan harta dilestarikan dengan berbagai wasa’il seperti berdagang, pembatasan harta anak yang hilang, larangan mencuri, menipu, pemborosan dalam membelanjakan dan masih banyak lagi.

Namun, wasa’il dalam bentuk ibadah harus dibedakan dari wasa’il dalam bentuk `adah dan muamalah. Sementara wasa’il ibadah bersifat menyeluruh dan terbatas pada apa yang telah ditetapkan oleh nass, wasa’il dalam kategori muamalah bersifat dinamis dan selalu berubah sesuai dengan perubahan dan perkembangan kehidupan manusia. Jenis wasa’il ini tidak dibatasi tetapi terbuka bagi nalar manusia dalam lingkup ijtihad dan pertimbangan skala maslahah dan mafsadah. Sebagaimana maslahah dalam kehidupan manusia tidak akan pernah habis dan berbeda antar waktu dan ruang, demikian pula wasa’il.

Ketiga, pertimbangan akibat (i`tibar al-Ma`alat) dan subyektivitas wasa’il. Berangkat dari dinamisme wasa’il sebagaimana telah dijelaskan di atas, tidak semua wasilah cocok untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Oleh karena itu, wasilah yang berlaku untuk suatu lingkungan mungkin tidak berlaku dalam realitas lainnya. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan konsekuensi praktis penyeimbangan antara kemaslahatan (mu’azanah bayna mashalih) dalam menentukan wasa’il, jika wasa’il itu tidak diatur dan ditentukan oleh nas yang jelas.

Telah ditegaskan di atas bahwa wasa’il sesuai dengan makna dharai’ dalam arti luas. Meskipun demikian, para ulama ketika mengklasifikasikan wasa’il, mereka membatasi klasifikasi dalam arti sempit terbatas pada sadd al-dharai’ saja. Namun, ulama kontemporer seperti Hisyam Burhani telah mengklasifikasikan dharai’ yang identik dengan wasa’il menjadi 4 jenis: 1) Wasilah (sarana) yang diperbolehkan menuju akhir yang diperbolehkan; 2) Larangan wasilah yang mengarah pada akhir yang dilarang; 3) Larangan wasilah yang mendahului yang halal; dan 4) Wasilah yang halal mengarah pada akhir yang haram.

Dua kategori pertama adalah asal mula putusan hukum. Hukum Syariah dalam bentuk kewajiban, dianjurkan atau hanya diperbolehkan, yang diundangkan untuk mencapai tujuan yang diperbolehkan merupakan niat Syariah itu sendiri.

Demikian pula sarana yang diharamkan berupa larangan yang dibenci (makruh) adalah untuk mencegah bahaya dan tujuan yang dilarang. Dua yang terakhir merupakan kasus ketidaksesuaian antara wasa’il dan maqashid, yang tidak mewakili asal usul hukum Syariah tetapi kasus luar biasa karena faktor eksternal.

Pertanyaannya di sini adalah apakah wasilah yang dilarang harus dibolehkan dan dibuka karena mengarah pada maslahah dan apakah wasilah yang dibolehkan harus diblokir karena dapat menyebabkan kerusakan? Kategori terakhir, sebagaimana kita amati, merupakan sadd al-dhari’ah yang diperdebatkan oleh para ulama, di mana kategori ketiga mewakili fath al-dhari’ah. Oleh karena itu, kategori ketiga dan keempat merupakan makna luas dari wasa’il atau dharai’.

Pertanyaan apakah kategori ketiga harus dibuka dan diizinkan dan apakah kategori keempat harus diblokir dan dicegah perlu pertimbangan yang cermat dan tidak memerlukan jawaban standar dalam semua kasus. Aspek-aspek berikut harus dipertimbangkan: 1) Sampai sejauh mana wasilah akan menghasilkan maslahah atau mafsadah?; 2) Kedudukan wasa’il itu sendiri dan maqashid dalam lima hukumnya; 3) Subyektivitas maslahah dan mafsadah yang timbul dari wasa’il, yang satu menang atas yang lain (ghalabah).

Berikut ini adalah beberapa contoh kasus dalam kategori fath al-dharai’.
1. Mewajibkan (ijab) wasa’il yang hanya diperbolehkan yang biasanya dapat mengandung tujuan yang disyaratkan (ghalabah al-dhann) seperti mendirikan bank syariah untuk memenuhi kebutuhan umat Islam, atau mewajibkan pencatatan perkawinan dan perceraian atau mewajibkan pekerja dan pejabat untuk berpartisipasi dalam skema pensiun.

2. Mendorong (istihbab) wasa’il mubah yang mengarah pada maslahah wajib seperti pemberian insentif pajak bagi yang membayar zakat. Demikian juga wasilah mandubah yang dapat mengakibatkan tujuan yang disyaratkan seperti tabarru’ dalam asuransi Syariah.

3. Mengizinkan wasa’il yang semula dilarang ketika keadaan normal karena adanya maslahah, seperti kebolehan berurusan dengan bank sentral yang ribawi untuk menjalankan bank Syariah.

4. Membolehkan wasa’il makruh yang dapat menghasilkan maslahah seperti perdagangan dan transaksi komersial dengan musuh untuk memenuhi kebutuhan ekonomi umat Islam.

Adapun kategori sadd al-dharai’ beberapa contohnya adalah sebagai berikut:
1. Untuk mencegah (tahrim atau karahah) wasa’il mubah yang dapat mengakibatkan mafsadah, seperti larangan buyu’ al-ajal menurut Maliki, atau untuk mencegah orang yang telah melakukan haji dari melakukan haji kedua karena dapat mencegah orang lain yang telah memenuhi persyaratan untuk melakukannya.

2. Untuk membatalkan kontrak atau transaksi yang mubah karena dapat mengakibatkan tujuan yang dilarang, seperti hibah yang dapat menggagalkan hukum faraid.

3. Memaksakan suatu perbuatan mubah karena dapat menimbulkan akibat yang dilarang, seperti menjatuhkan hukuman kepada orang yang melakukan talak di luar pengadilan karena dapat mengakibatkan bermain-main dengan hak talak dan menerima begitu saja (talaub).

Istilah wasa’il dapat dipertukarkan dengan al-dharai’ dalam arti luas, sehingga wasa’il harus dipahami dalam konsep dharai’ yang lebih luas. Pertimbangan konsekuensi mungkin terjadi dalam menentukan hukum tindakan atau transaksi tertentu (I’tibar al maalat). Kerangka maqashid dan wasa’il akan memberikan skala prioritas tindakan dan menempatkan keseimbangan antara maslahah dan mafsadah (muazanah).

Di sinilah kita bisa melihat bahwa hubungan erat antara maqashid dan wasa’il, melukiskan wajah Islam yang wasathiyyah, mementingkan keseimbangan antara tujuan dan sarana pencapaiannya. (habis)

Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga di solopos.com