Moderasi: Jalan Tengah antara Fanatisme Sekuler dan Fanatisme Religius

Alasan praktisnya bahwa selama seseorang tunduk pada batasan-batasan yang ditentukan oleh nalarnya, maka ia akan menjadi manusia sederhana dan moderat

Dalam pemikiran tentang moderasi, Ibn Miskawayh merupakan ahli etika terbesar pada masa pertengahan. Ia menerima empat kebajikan utama dari Plato sebagai dasar dan mengorganisir seluruh kebajikan lain di sekitarnya.

Menurutnya, jiwa manusia memiliki tiga fakultas: Pertama, fakultas intelektual dan instrumennya adalah otak yang fungsinya membedakan dan berpikir tentang kebenaran. Kedua, fakultas nafsu syahwat dan instrumennya ialah jantung. Fakultas ini berkaitan dengan marah, takut, dan seterusnya. Ketiga, fakultas amarah dan instrumennya ialah hati. Fakultas ini berhubungan dengan hasrat makan, perkawinan, dan semua kesenangan indrawi.

Setiap fakultas ini menjadi kuat atau lemah, tergantung pada perangai, kebiasaan, dan pendidikan. Jika kecenderungan fakultas intelektual bersifat moderat, ia dapat mencapai pengetahuan yang benar, dan kebajikan dari pengetahuan yang benar adalah kebijaksanaan. Bila kecenderungan fakultas nafsu syahwat bersifat moderat, dan ia tunduk pada fakultas intelektual, serta tidak terjebak dalam kesenangan nafsu, maka kebajikan kesederhanaan/kesucian akan tercapai.

Jika kecenderungan fakultas amarah bersifat moderat, dan selalu bersanding dengan fakultas intelektual, maka kebajikan keberanian akan tercapai. Hasil akhir dari tiga kebajikan fakultas ini adalah kebajikan keempat, yaitu keadilan.

Di lain tempat, Al-Ghazali memulai pembahasan kebajikan dengan mengemukakan apa yang disebut kebajikan-kebajikan utama (ummahat).
“Ibu dari segala karakter” (ummahat al-akhlaq) merujuk pada kebajikan-kebajikan utama yang sama, yaitu kebijaksanaan (hikmah), keberanian (syaja`ah), kesederhanaan (‘iffah) dan keadilan (`adl).

Menurut Sherif, Al-Ghazali membagi jiwa menjadi tiga fakultas: vegetatif (al-naba?iyah), hewan (al-?ayawaniyah), dan manusia (al-insaniyah). Dari sudut pandang etika, dua kemampuan terakhir sangat penting.

Jiwa hewani dibagi lagi menjadi motif (mu?arrikah) dan perseptif (mudrikah). Fakultas motif memberi kita dorongan dan nafsu makan; keinginan dan kemarahan didasarkan pada bagian nafsu makan. Fakultas perseptif memiliki indra eksternal dan internal. Indra eksternal terdiri dari panca indra biasa, sedangkan indra internal meliputi representatif (khayaliyah), retentif (?afi?ah), estimasi (wahmiyah), rekolektif (dhakirah), dan imajinasi sensitif (mutakhayyilah). Terakhir, fakultas manusia memiliki dua bagian: penalaran teoritis (‘alimah) dan penalaran praktis (‘amilah).

Watak kebajikan dibiasakan dalam diri umat manusia dengan penalaran praktis melalui pengaturan semua fakultas jiwa hewani. Jika diterima secara pasif, keinginan tubuh menghasilkan kecenderungan ke arah kejahatan. Watak kesederhanaan berkembang ketika indra keinginan (shahwaniyah) diatur oleh nalar praktis. Keinginan harus dipuaskan, dan sikap berlebihan yang ekstrem perlu dihindari.

Alasan praktisnya bahwa selama seseorang tunduk pada batasan-batasan yang ditentukan oleh nalarnya, maka ia akan menjadi manusia sederhana dan moderat (`iffah).

Al-Ghazali memperluas kesederhanaan sebagai kebajikan dalam upaya menahan diri dari hal-hal yang dilarang oleh hukum agama dan menahan diri dari semua yang tidak mengarah pada “kebahagiaan tertinggi” atau “keselamatan religius”. Namun, konsepsi yang diperluas ini tampaknya memiliki kemiripan dengan pandangan Plato tentang kebajikan ini sebagai pengaturan semua fakultas jiwa manusia dan tatanan sosial yang digambarkan dalam Republic.

Al-Ghazali merupakan fiolosof terkenal dalam perdebatan filsafat dan teologi abad Pertengahan. Bertentangan dengan lazimnya pemahaman oposisi biner yang menekankan antagonisme akal dan wahyu, ia mengemukakan tesis “penghapusan antagonisme dalam membela iman Islam dengan cara kerjasama antara iman dan akal”.

Masalah ini menyangkut hubungan akal dan wahyu atas dasar otoritas wahyu. Mengkaji al-Ghazali sangat relevan dalam rangka menunjukkan kerjasama akal dan wahyu yang membawa pada moderasi antara keimanan yang rasional dan menolak fanatisme. Ini juga akan membawa pada moderasi antara kecenderungan sekularisme dalam ranah teologi atau bahkan filsafat yang sama nilainya dengan fanatisme.

Karya al-Ghazali al-Iqtisad fi al-I’tiqad menyajikan suatu doktrin tentang moderasi hubungan akal dan wahyu. Al-Ghazali telah menunjukkan harmoni atau jembatan antara akal dan wahyu. Problem akal dan wahyu merupakan problem filsafat dan wahyu. Akal bersifat netral, hak-hak akal diakui oleh kaum beriman, dan juga orang tidak beriman. Bila kita memperhadapkan wahyu dengan tafsir tertentu dari akal, maka kesempurnaan manusia itu terletak pada filsafat.

Al-Ghazali menginformasikan dan mengartikulasikan kemungkinan harmoni akal dan wahyu atas dasar Al-Qur’an dan sunnah. Ini akan menambah artikulasi mengenai kompleksitas sanggahan atas fanatisme sekuler dan fanatisme religius.

Urusan terpenting umat manusia adalah pencapaian kebahagiaan abadi dan penghindaran kesengsaraan abadi. Koherensi dalil al-Iqtisad fi al-I’tiqad terdiri dari kesepakatan akal dan wahyu. Kesepakatan akal dan wahyu memastikan moderasi keyakinan dan ini memastikan pencapaian kebahagiaan abadi di akhirat dan menghindari kesengsaraan.

Al-Ghazali memberitahukan kepada kita bahwa tidak ada konflik antara “wahyu yang diturunkan” dan “kebenaran intelektual”. Kontroversi dapat menghalangi moderasi. Meninggalkan “intelek” dan hanya mengandalkan pada “sinaran Al-Qur’an sama dengan “tinggal” di bawah sinar matahari dengan “kelopak mata tertutup”. “Tidak ada perbedaan antara “orang yang melihat” dan “orang buta”.

Sungguh, “akal bersama dengan wahyu adalah cahaya di atas cahaya”. Siapa saja yang mencoba mengamati, baik akal maupun wahyu, akan dapat memahaminya bahwa Dia adalah satu dan keduanya menyediakan bukti-bukti dan alasan-alasan tentang keberadaan Tuhan.

Bimbingan Tuhan yang murah hati terbukti dalam kebenaran. Kebenaran semata sudah mampu menunjukkan iman yang benar. Iman yang benar adalah iman yang moderat. Yakni jalan menuju integrasi hukum, akal dan pengamanan; penghapusan konflik antara wahyu dan kebenaran intelektual merupakan capaian tertinggi dari teori nalar Al-Ghazali.
Konflik antara wahyu dan akal merupakan sumber ketidaksetiaan dalam iman. Wahyu bukanlah lawan dari akal. Hal-hal yang dilaporkan dalam wahyu, yang dianggap mungkin oleh akal maka menjadi wajib bagi iman. Wahyu bukanlah penghalang bagi manusia untuk menjadi rasional. Inilah moderasi dalam hal iman.

Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga di Solopos.com