Dimensi isi tauhid, menurut Ismail Raji al-Faruqi, meliputi pertama, prinsip metafisika menyatakan keesaan Tuhan. Dia adalah prima causa, awal dan tujuan dari segala penciptaan dan wujud. Mengamati inisiatif Tuhan dalam alam (sunnatullah) yang tak berubah berarti mengkaji ilmu alam, mengamati inisiatif Tuhan dalam diri seseorang dan masyarakat berarti mempelajari ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial. Alam semesta adalah teater hidup yang digerakkan oleh perintah Tuhan.
Keesaan Tuhan Allah Swt. yang tertuang dalam kalimat “la ilaha illa Allah” mengandung makna negasi, menafikkan kekuatan selain Tuhan di dalam alam; Sekularisasi di mana tauhid memisahkan alam dari sakralisasi, dari para dewa dan ruh agama primitif; Religio-mitopoeik artinya tauhid adalah lawan takhayul dan mitologi, takhayul dan mitologi adalah musuh ilmu alam dan peradaban; dan kausalitas bahwa Tuhan menciptakan benang kausalitas dalam alam dan mengembalikannya kepada Dirinya.
Kedua, prinsip etika menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk terbaik. Tujuannya untuk menjadi `abid yang taat kepada-Nya, dan khalifah yang mengemban amanah Tuhan yang menjadi bagian pelaksanaan etika dari Kehendak Tuhan; Kebebasan manusia dalam mewujudkan kehendak Tuhan; Taklif menjalankan fungsi kosmis dan tanggung jawab merealisasikan Kehendak Tuhan dalam ruang dan waktu dan menjadi sejarah.
Humanisme tauhid menghormati manusia sebagai manusia, tanpa pendewaan atau pencemaran, nilai manusia dilihat dari kebajikannya serta menghargai sisi kehidupan alamiahnya.
Ketiga, prinsip aksiologi tauhid menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia agar ia dapat membuktikan diri bernilai secara moral; baik-buruk ada perhitungannya. Manusia diciptakan dari tanah/bumi dan ia bertugas “memakmurkan” (peradaban) bumi dan diri. “Memakmurkan” adalah menciptakan peradaban kreatif; dan karena itu tauhid menentang kerahiban, isolasi, penafian dunia dan asketisme berlebih.
Keempat, prinsip masyarakat dalam tauhid adalah “persaudaraan universal” umat tanpa mengenal warna dan identitas etnis; ukurannya adalah kesalehan. Visi kesatuan umatnya mencakup keyakinan bahwa umat merupakan tatanan manusia yang terdiri dari konsensus tiga bagian, yaitu:
1. Otak, pemikiran dan keputusan.
2. Hati, sikap dan watak
3. Tangan, perbuatan, dan tindakan.
Umat juga merupakan tatanan universal dan kedamaian (pax Islamica) yang terdiri dari keragaman, keterbukaan dan kemerdekaan.
Kelima, prinsip estetika tauhid berarti Tuhan tak dapat diwakili atau diserupai, tak tergambarkan. Pengalaman estetis merupakan pengalaman indrawi akan intisari dan metanatural yang bertindak sebagai prinsip normatif objek indrawi. Seni adalah proses menemukan di dalam alam intisari metanatural dalam bentuk nyata, menemukan dalam alam apa yang bukan alam, dan Tauhid tidak menentang kreativitas seni dan kenikmatan keindahan.
Demikianlah prinsip-prinsip yang lahir dari tauhid sebagai intisari dari peradaban Islam. Lalu apa sumber utama peradaban Islam itu? Tentu saja jawabannya adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an bersumber dari wahyu Allah.
Manifestasi Al-Qur’an sebagai wahyu dalam bentuk material dan pemikiran menjadi bagian dari ekspresi peradaban Islam. Al-Qur’an menjadi sumber utama bagi kajian dan pemikiran Islam. Tindakan kaum Muslim paling awal atas Al-Qur’an adalah membacanya.
Di sinilah lahir peradaban non-bendawi berupa ilmu qira’ah. Standar qira’ah Quraisy (qira’ah al-sab`) ada tujuh yang terkenal, yaitu Abdullah Ibn Kathir, `Ashim ibn Abu al-Nujud, Abdullah ibn Amir, `Ali ibn Hamzah, Abu `Amr ibn al-A`la, Hamzah ibn Habib, dan Nafi` ibn Abu Nu`aim.
Al-Qur’an sebagai bacaan umat Muslim perlu dipahami makna dan kandungannya. Maka sebelum sampai pada pemaknaan, kita membutuhkan pengetahuan mengenai sejarah dan konteks turunnya ayat-ayat suci Al-Qur’an. Inilah yang kemudian melahirkan Ilmu Asbab al-Nuzul, yang menjelaskan baik sabab al-nuzul makro yang meliputi konteks historis Jazirah Arab pada masa diturunkannya ayat, dan sabab al-nuzul mikro yang merupakan konteks khusus suatu ayat.
Disiplin ini membutuhkan tradisi lisan dalam periwayatan dengan segala norma kritiknya. `Ali ibn Ahmad al-Wahidi (427/1035) adalah penulis pertama tentang Asbab al-Nuzul. Kita juga memerlukan Ilmu al-Makki wa al-Madani.
Setelah diketahui sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an, kita melanjutkan pada terjemah dan tafsir. Tradisi tafsir yang tumbuh dalam sejarah peradaban Islam dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu Tafsir bi al-Ma’thur yang merupakan tafsir melalui tradisi atau penjelasan dari nabi, sahabat, dan generasi berikutnya, seperti Tafsir Jami` al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an karya Ibn Jarir al-Tabari. Dan Tafsir bi al-Ra’y yang menggunakan nalar karena Islam sendiri merupakan agama nalar.
Tradisi sangat beragam karenanya dibutuhkan kriteria yang tinggi melalui pemahaman nalar untuk menemukan yang berlaku dan membuang yang tidak berlaku. Tafsir harus memenuhi kebutuhan akan pemahaman ajaran, deduksi hukum, dan pengamalan. Contoh tafsir semacam ini ialah al-Kashshaf `an Haqa’iq al-Ta’wil karya Mahmud al-Zamakhsyari (538/1143).
Al-Qur’an juga merupakan sumber utama hukum Islam. Sebelum menjadi hukum, para ahli ushul melakukan ekstrasi hukum, dan untuk itu membutuhkan Ilmu Istinbath al-Ahkam. Diperlukan metodologi menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam hukum sebagai petunjuk praktis umat manusia, antara lain: al-Manthuq dan al-Mafhum, al-lafz dan al-ma`na, al-`amm dan al-khash, al-`amr dan al-nahy.
Peradaban Islam
Sumber peradaban Islam yang kedua ialah al-Sunnah. Al-Sunnah meliputi tindakan, ucapan, penilaian, sikap dan keputusan Nabi, dan merupakan teladan dari risalah Islam. Al-Sunnah itu terdiri dari tranmisi lisan dari sahabat ke generasi berikutnya. Sunnah tidak mu’jiz atau tidak memiliki sifat mukjizat, dan karena itu dapat ditiru oleh manusia.
Sunnah juga tidak diperintahkan oleh Nabi untuk dihafal atau disampaikan secara harfiah sebagaimana Al-Qur’an. Kebutuhan untuk memahami al-Sunnah dengan baik dan benar inilah yang kemudian melahirkan dua peradaban Ilmu Riwayah yang mempelajari teks hadis (matan) dan rantai periwayat (sanad), menggolongkan rantai periwayat dan teks hadis untuk mempermudah mengingatnya; dan Ilmu Dirayah untuk mengkaji keabsahan hadis dan semua yang berkaitan dengan keaslian tradisi lisan.
Dua sumber utama di atas – Al-Qur’an dan al-Sunnah – mendorong proses pembentukan dan pelembagaan peradaban Islam, yakni pelaksanaan dan pengabadian Islam dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang mencakup kehidupan pribadi, keluarga, sosial, internasional.
Pelembagaan rukun Islam meliputi: Syahadat sebagai kesaksian akan eksistensi Allah Swt. dan kenabian Muhammad Saw., yang dikokohkan secara inderawi, rasio, emosi dan intuisi. Shalat merupakan ibadah tertinggi dalam Islam, disiplin untuk semua Muslim dan mengharuskan pembangunan masjid sekaligus jemaah.
Puasa adalah disiplin penyucian diri dan tekad kembali kepada tujuan, muhasabah diri dan simpati kepada kaum miskin. Zakat adalah kepedulian kepada kaum miskin dan disiplin untuk memberi. Haji sebagai penyempurna keislaman, kesadaran egalitarianisme manusia dalam ihram, menjelajah jejak pengabdian Ibrahim dan Ismail.
Ajaran-ajaran Islam tentang keluarga pada akhirnya mengalami proses pelembagaan. Dalam lembaga keluarga ini kaum Muslim disunnahkan untuk menikah antara lelaki dan perempuan. Keluarga merupakan manifestasi dari dimensi lahiriah manusia karena manusia memiliki kebutuhan seksual; karena itu Islam sangat mengutuk hidup membujang.
Lembaga keluarga dibentuk untuk melahirkan keturunan, menjalin kasih sayang, dan pembentukan keluarga sakinah. Di dalamnya juga terdapat lembaga perkawinan yang meliputi nikah, rujuk, talak, cerai, mahar, dan sebagainya. Keluarga Islam adalah rumah untuk membangun relasi lelaki dan perempuan dalam kerangka “bil ma`ruf”, simpatik, baik hati dan terhormat. Keluarga juga melestarikan disiplin tanggung jawab menjaga dan memakmurkan rumah tangga.
Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga di solopos.com