Sebagian besar dokter dan sarjana Islam mendefinisikan kesehatan tubuh sebagai moderasi humor dan kesehatan jiwa sebagai moderasi fakultas-fakultasnya
Para mufassir Al-Qur’an dan ahli hukum periode awal juga para sarjana muslim telah terlibat dengan pembahasan tentang kebajikan dalam waktu yang cukup panjang.
Selama abad kedelapan dan kesembilan, para teolog Mu’tazilah dan Ash’ariyyah mengembangkan sistem etika tersendiri. Para filosof dari Al-Kindi dan seterusnya membahas persoalan etika dalam sistem filsafat mereka.
Al-Farabi ialah filosof politik utama dalam soal pembangunan konsep ahlu al-madinah dan filsafat kepemimpinan serta kewargaan di negara kota atau polis. Al-Farabi memikirkan tentang warga negara kota yang baik.
Ia selain memikirkan kesehatan jiwa dan raga, juga memikirkan konsep kesehatan warga polis lain yang bisa diterapkan pada masyarakat sipil. Tidak seperti para pendahulunya, dia mendefinisikan dua konsep kesehatan warga: kesehatan sebagai moderasi dan kesehatan sebagai struktur jiwa yang baik.
Sebagian besar dokter dan sarjana Islam mendefinisikan kesehatan tubuh sebagai moderasi humor dan kesehatan jiwa sebagai moderasi fakultas-fakultasnya. Gagasan Al-Farabi tentang kesehatan jiwa berbeda, tetapi terkait dengan konsep kesehatan spiritual.
Kesehatan spiritual sebenarnya merupakan salah satu aspek dari yang pertama. Dalam definisi pertamanya, Al-Farabi setuju dengan pandangan ini dan mencoba menggambarkan kesehatan masyarakat sebagai berikut:
“Karena badan sehat dan sakit, Polis juga bisa sehat dan sakit… karena kesehatan tubuh itu disebabkan moderasi dari humornya dan penyakit tubuh bersumber dari beberapa penyimpangan dari moderasi, integritas, stabilitas, dan kesehatan seorang Polis dilandasi etika moderasi warganya.”
Dari sudut pandang ini, manusia membutuhkan dua jenis obat: satu untuk tubuh dan satu lagi untuk jiwa. Menurut Al-Farabi, moderasi internal seseorang merupakan syarat yang diperlukan untuk kesehatan sosial, tetapi itu tidak cukup.
Kondisi kesehatan negara yang memadai berkaitan dengan pembagian kerja, hubungan sosial, komunikasi interpersonal, dan struktur politik dalam masyarakat. Namun, Al-Farabi tidak mendeskripsikan etika sebagai ilmu dalam bukunya Fusul al-Muntaza’ah (kata-kata mutiara terpilih), tetapi sebaliknya membahas kesehatan sebagai bagian dari bidang ilmu sosial (sipil).
Menurut Al-Farabi, kesehatan jiwa membutuhkan kesehatan masyarakat dan ilmu sipil yang mempelajari kesehatan. Karena itu, ia tidak berbicara tentang etika ketika mempelajari kesehatan jiwa manusia. Interpretasi konsep kesehatan ini mengarahkan kita untuk menggunakan konsep lain, seperti komunitas, kepemimpinanm dan pembuatan kebijakan.
Berdasarkan definisi umum kesehatan dalam pengobatan kuno, Al-Farabi menganggap kesehatan tubuh sebagai moderasi dari humor, kesehatan jiwa sebagai moderasi fakultasnya, dan kesehatan masyarakat sebagai kehadiran moderasi dalam masyarakat. Dalam ketiga definisi tersebut, lawan moderasi adalah keberlebihan dan kekurangan yang menjadi penyebab utama ekstremisme.
Definisi kedua kesehatan dalam karya Al-Farabi menjelaskan definisi pertama yang didasarkan pada konsep moderasi. Kesehatan tubuh adalah ketika tubuh, jaringan, dan organ-organnya berfungsi sedemikian rupa sehingga jiwa dapat memenuhi perbuatan yang diharapkan kebaikan atau kejahatannya.
Misalnya kesehatan mata ketika ia melihat sepenuhnya, apakah tindakan melihat itu untuk tujuan baik atau jahat. Di sini, kesehatan jiwa artinya fakultas-fakultas dan bagian-bagiannya senantiasa berada dalam situasi untuk berbuat kebaikan dan keindahan.
Dengan cara yang sama, penyakit jiwa berarti ketika fakultas-fakultas jiwa dan bagian-bagiannya berada dalam keadaan sedemikian rupa sehingga jiwa cenderung melakukan kejahatan dan keburukan.
Al-Farabi juga memikirkan hubungan antara kesehatan tubuh dan jiwa dengan munculnya ekstremisme. Menurutnya, dua definisi kesehatan ini masing-masing dapat dipandang bersifat kausal dan teleologis. Segala sesuatu memiliki fungsi khusus dan sehat jika fungsi-fungsi tersebut benar-benar bekerja sepenuhnya.
Misalnya, kesehatan mata seseorang benar-benar berfungsi apabila mampu melihat sepenuhnya dan sempurna. Sebaliknya, mata yang sakit berarti tidak mampu melihat secara penuh dan sempurna.
Demikian juga dengan fungsi utama jiwa adalah melakukan kebaikan dan keindahan. Melakukan kebaikan dan keindahan serta hidup secara etis dapat dipandang sebagai indikator kesehatan jiwa. Cara hidup semacam ini membutuhkan kehadiran struktur khusus di dalam jiwa dan bagian-bagiannya.
Al-Farabi menggunakan istilah kebajikan (virtue) untuk struktur ini sehingga tindakan yang baik dan indah menjadi mungkin dan keburukan (vice) untuk struktur yang merupakan asal mula kejahatan dan tindakan buruk. Kebajikan dan keburukan ini terkait faktor pendidikan dan epigenetik.
Al-Farabi mencoba mendefinisikan masyarakat yang sehat atas dasar kebajikan dan memisahkannya dari masyarakat jahat. Ada tiga perbedaan cara untuk berbuat baik dalam masyarakat: warga negara melakukan kebaikan karena (1) persyaratan eksternal, seperti hukum (2) kewajiban batin atau (3) berdasarkan kebajikan.
Al-Farabi menganggap kesehatan jiwa sebagai kebajikan batin yang merupakan asal muasal yang baik dan indah. Kebajikan batin ini struktur istimewa dalam jiwa dan bagian-bagiannya. Namun bagaimana struktur ini diperoleh?
Jawaban atas pertanyaan ini didasarkan pada analogi antara kesehatan tubuh dan kesehatan jiwa, keduanya bergantung pada konsep moderasi. Moderasi menciptakan struktur kebajikan di dalam jiwa, penyimpangan darinya dalam bentuk kelebihan atau kekurangan, merampas jiwa kebajikan.
Bagaimana dengan fundamentalisme: apakah itu mengancam kesehatan masyarakat dengan berbagai alasan itu?
Ada berbagai macam fundamentalisme: fundamentalisme eksklusif dan fundamentalisme pluralis. Yang terakhir memiliki bentuk berbeda.
Fundamentalisme eksklusif dapat berkembang menjadi ekstremisme. Bagaimana kita bisa melindungi masyarakat dari penyakit berbahaya ini? Kelebihan dan moderasi dikaitkan dengan berbagai faktor.
Menurut Al-Farabi, moderasi/kesederhanaan jiwa membutuhkan pendidikan seumur hidup; namun pengaruh faktor epigenetik tidak dapat disangkal. Meskipun kesehatan masyarakat terkait pendidikan sosial yang tepat, namun tidak dapat diperoleh hanya dengan instruksi publik semata sehingga membutuhkan pandangan strategis yang lebih mendalam dalam proses pembuatan kebijakan.
Oleh karena itu, menjaga moderasi masyarakat membutuhkan penilaian etis terhadap hukum dan kebijakan. Kerangka etika harus diperhatikan dalam proses pembuatan kebijakan di berbagai bidang, seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan pembangunan. Misalnya, mengembangkan daya saing lingkungan untuk bisnis dapat dilakukan dengan pendekatan kompetitif etis atau pendekatan kekerasan, pendekatan anti-persaingan.
Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga. di halaman solopos.com