Sinkretisme Agama? Pemahaman Pluralitas Kristen Muhammadiyah yang Salah Kaprah

Untari Wulan Hindriyastuti

Betapa gundahnya masyarakat yang hanya membaca sepenggal frase “Kristen Muhammadiyah”. Ia boleh jadi dianggap sesat, sekte, ataupun aliran baru yang saling sahut-menyahut. Masyarakat menganggap munculnya sebutan Kristen Muhammadiyah merupakan suatu praktik sinkretis dan provokatif antara Kristen dan Muhammadiyah.  

Jika disebutkan kata “Indonesia”, pasti akan terbayang mengenai kemajemukanya. Terdapat berbagai macam keanekaragaman yang salah satunya agama serta aliran kepercayaan. Tentu saja dalam hal ini sikap pluralisme agama harus digaungkan. Pluralisme itu dapat menghargai suatu perbedaan dan menganggap semua agama itu sama. Menganggap semua aga ini sama bukan berarti suatu praktik sinkretisme atau praktik penggabungan antar agama. Secara konstitusional, pemeliharaan keharmonisan umat beragama yang plural terdapat di UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian diperkuat lagi oleh putusan MPR RI 1998 mengenai Upaya reformasi kehidupan beragama adalah dengan membina kerukunan antarumat serta pembentukan dan pemberdayaan jaringan kerja antarumat beragama.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. Abdul Mu`ti bersama Fajar Riza Ul Haq dalam bukunya yang berjudul “Kristen Muhammadiyah: Mengelola Pluralitas Agama dalam Pendidikan” menyebutkan variansi Kristen Muhammadiyah atau KrisMuha ini hadir karena interaksi intens oleh siswa muslim dengan siswa kristiani saat duduk dibanggu sekolah. Ini merupakan suatu praktik filantropi organisasi masyarakat Muhammadiyah dalam mewujudkan pembangunan sekolah di daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T). Daerah 3T merupakan wilayah di Indonesia yang memiliki kondisi geografis, sosial, ekonomi dan budaya yang kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah wilayah Indonesi Timur. Sekolah Kristen Muhammadiyah ini memberi kebebasan untuk semua siswa dari berbagai agama untuk mengenyam pendidikan. Fenomena ini hanya sebatas feneomena sosiologis yang tidak ada sangkut-pautnya dengan teologi agama, sehingga tidak menghilangkan jati diri agama mereka.