Wasathiyyah Islam: Fondasi Normatif

Istilah wasathiyyah, secara bahasa berasal dari kata wasath, artinya sesuatu yang terletak di antara dua ujung. Kata ini tertulis sebanyak 5 kali dalam Al-Qur’an.

Hal terpenting yang kita perhatikan di sini adalah bahwa Al-Qur’an menggunakannya baik untuk ummah (tatanan sosial) dan untuk individu. Dengan demikian kata ini mengungkapkan bahwa moderasi, jalan tengah, dan kesederhanaan adalah kebajikan komunal/sosial dan individu. Dari sudut pandang ini, posisi Al-Qur’an lebih dekat dengan Plato dan Platonian daripada Aristoteles dan Aristotelian.

Menurut Ibnu Manzur, merujuk pada makna yang dikandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an, kata wasath mencakup tiga pengertian yaitu: Pertama, tengah-tengah seperti dalam Al-Baqarah 2:238, 58.

Pelihara segala shalatmu dan peliharalah shalat wustha (shalat yang di tengah-tengah). Berdirilah untuk Allah dengan khusyu.

Pengertian wasath yang kedua adalah adil, seperti Al-Baqarah 2:143

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu umat yang adil dan terpilih agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kamu.”

Wahbah al-Zuhayli dalam Tafsir al-Munir fi al-`Aqidah wa al-Shari`ah wa al-Manhaj, menjelaskan al-wasath dalam ayat ini dengan menyatakan bahwa umat Muslim adalah umat yang adil, yang pada hakikatnya melukiskan suatu keadaan yang terbaik dan terpuji dalam hal anugerah, ciptaan, syariat, hukum, ibadah, keistimewaan dan fitrah.

Umat Muslim disebut sebagai ummat wasath karena mereka mengutamakan prinsip keseimbangan (al-tawazun) antara kebutuhan jasmani dan rohani, antara kemaslahatan dunia dan akhirat; mereka juga berlomba-lomba untuk menjadi kaum moderat dan tawassuth, dalam arti memberikan hak kepada yang berhak menerima, melaksanakan secara seimbang segala hak dan kewajiban dalam suatu konstruk kehidupan sosial baik untuk kepentingan yang jangka pendek maupun jangka panjang.

Pada umumnya, para mufasir menginterpretasikan ummat wasath dengan menggambarkan keadaan umat manusia sebelum Islam. Mereka biasanya membagi umat manusia ke dalam dua golongan besar, yakni golongan materialis yang lebih mementingkan kehidupan jasmaniah dan memandang kematian lebih disebabkan perjalanan waktu, seperti kaum Yahudi, Mu`aththilah dan Musyrik; dan golongan yang menekankan aspek rohaniah semata sembari mengabaikan dunia beserta isinya, seperti kaum Nasrani, Sabiah, penyembah berhala, Hinduis, dan penghamba riyadhah (Ahmad Mustafa al-Maraghi).

Karena sifat al-wasath dan al-`adl itulah umat Muslim dijadikan sebagai ummat wasath seperti diterangkan dalam hadis:

“(Karena) sikap tengah dan keadilan, Kami menjadikanmu ummat yang adil” (Ahmad bin Hanbal).

Sementara itu, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha dalam al-Manar memaknakan wasath sebagai keadilan dan keterpilihan. Lafaz wasath digunakan karena mencakup pilihan dan keadilan; dan kaum Muslim tidak suka berlebihan maupun minimalis dalam persoalan-persoalan keagamaan, etika dan praksis sosial. Pendapat yang serupa dengan al-Manar juga dikemukakan oleh Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam kitab tafsirnya.

Pengertian ketiga dari wasath adalah terbaik, seperti tersurat dalam al-Ma’idah 59.

“Maka kaffarat melanggar sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan terbaik yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.”

Ditegaskan pula dalam sebuah adagium Arab bahwa perkara yang terbaik adalah yang tengah-tengah. Dari sini dapat dipahami bahwa wasathbadalah suatu prinsip keadilan yang menekankan pada sikap moderat, karena sikap ini merupakan sikap terbaik di antara dua hal yang saling berlawanan dan bertentangan.

Al-Tabari memaknai kata wasath sebagai “yang terpilih, yang terbaik, yang adil”. “Terpilih” dan “yang terbaik” karena karakteristik orang yang adil. Ibn Kathir memaknainya sebagai “yang terbaik, paling rendah hati dan adil”. Al-Qurtubi memaknainya sebagai yang adil dan terbaik. Dalam konteks ini, tidak berarti mengambil posisi tengah atau tengah dalam suatu masalah, seperti posisi antara baik dan buruk.

Sementara al-Razi mengemukakan bahwa kata wasath memiliki empat arti. Pertama, adil artinya tidak memihak antara dua pihak yang berkonflik. Dengan kata lain, adil di sini artinya berada jauh dari kedua ujung ekstrem. Saat jauh dari sikap ekstrem maka keadilan akan muncul. Kedua, sesuatu yang terbaik. Ketiga, yang paling rendah hati dan sempurna, dan keempat adalah tidak bersikap ekstrem dalam masalah agama.

Al-Nasafi memaknai kata wasath berarti yang terbaik dan adil. Itu yang terbaik karena itu posisi tengah. Apa yang ada di tengah akan dilindungi. Dikatakan adil bila tidak ekstrem atau cenderung ke arah beberapa hal. Al-Zamakhsyari memaknainya sebagai yang terbaik dan paling adil. Kedua elemen ini adalah karakteristik sentral karena apa pun yang ada di sisi lebih cenderung ke arah kejahatan dan kehancuran.

Al-Mahalli dan al-Suyuti mengartikan wasath sebagai terpilih, terbaik dan adil. Sayyid Qutb memaknainya sebagai baik, rendah hati, moderat, juga tidak ekstrem dalam kaitannya dengan hal-hal duniawi dan kehidupan setelah kematian. Dan Hijazi mengertikannya sebagai adil dan terbaik. Adil di sini berarti tidak terlalu ekstrem dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama atau urusan sehari-hari. Sedangkan “yang terbaik” adalah menurut aspek aqidah dan hubungan antar manusia (antara individu atau masyarakat) dan tidak mengorbankan atau menekan orang lain.

Abdullah Yousaf Ali menerjemahkan ummatan wasathan sebagai “Ummat adil seimbang.” Ini pada dasarnya berarti komunitas menengah atau moderat, yang merupakan gagasan di balik frasa “Ummat yang seimbang”. Oleh karena itu, Al-Qur’an mencirikan komunitas Muslim sebagai komunitas tengahan atau moderat atau sedang.

Yaakub dan Othman (2016) menulis bahwa wasathiyyah berarti keadaan perilaku dan sikap sosio-kultural yang netral. Ini menunjukkan bahwa wasath berarti menjadi moderat atau di tengah atau menjadi yang terbaik dalam hal kompromi; yaitu, untuk mengambil jalan tengah atau memposisikan diri di tengah lingkaran.

Dengan demikian, ‘tengah jalan’ dalam konteks ini juga dibingkai oleh ekstrem seperti: “panas dan dingin, kaya dan miskin, tinggi dan pendek, besar dan kecil, kosong dan penuh, kemurahan hati dan kekikiran, keberanian dan kepengecutan. Ini adalah median yang seimbang.

“Terjemahan ke bahasa Inggris menunjukkan moderasi, mid-ground, dan sentrisisme. Wasathiyyah, sebagai karakteristik, oleh karena itu membandingkan masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim dalam hal perilaku individu dan kolektif, dan umumnya menempatkan masyarakat Muslim lebih unggul dalam hal ini karena itu adalah keadaan alami dari sistem Agama Islam.

Terlepas dari implikasi yang jelas, wasathiyyah, bagaimanapun, bukanlah konstruksi monolitik karena membutuhkan pembenaran berulang dalam ranah sosial-politik praksis sehubungan dengan konteks nasional dan internasional. Pendekatan terbaik mengacu pada sumber utama Islam: Al-Qur’an dan al-Sunnah. Prinsip-prinsipnya juga terintegrasi secara komprehensif dan banyak manfaatnya ketika menyelesaikan masalah dan kebutuhan umat. Wasathiyyah secara khas terwujud dalam akidah (keyakinan) dan akhlak (etika) dalam kehidupan muslim sehari-hari.

Islam memperkenalkan manhaj atau pendekatan metodologis pada semua aspek usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang menjamin kebaikan dan harmoni tanpa unsur ekstremis. Oleh karena itu, Wasathiyyah adalah konsep Islam fundamental yang mengharuskan umat Islam untuk tetap berada di jalan tengah untuk menghindari jalan tafrit yang melampaui batas.

Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag., Rektor UIN Salatiga di Solopos.com